Mohon tunggu...
Kenni Gandira Alamsyah
Kenni Gandira Alamsyah Mohon Tunggu... Programmer - Software Engineer

Saya ndak tau apa apa.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kanjuruhan, Brain Drain, dan Nasionalisme - Part 1

4 Oktober 2022   23:39 Diperbarui: 4 Oktober 2022   23:43 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Jarang-jarang saya sulit tidur bukan karena bug yang belum ketahuan solusinya, atau karena malam sebelum hari penting semisal dulu di malam sebelum nikah. 

Malam ini, saya ~ yang sudah agak lama gak terlalu peduli soal sepakbola ~ dibuat overthinking oleh tragedi di Kanjuruhan 1 Oktober silam. 

Selain jumlah korban yang tidak sedikit dan cerita-cerita penyintas yang traumatik, yang paling bikin saya sulit tertidur adalah respon dari pihak-pihak yang semestinya bertanggung jawab, baik ketika kejadian tengah terjadi maupun pasca kejadian.

Mungkin saya gak pernah nonton di stadion, tapi saya punya semacam kepercayaan yang entah dari mana, bahwa serusuh apapun suporter, mereka tetap bakal jaga individu-individu yang memang rentan ketika berada di tengah chaotic situation. 

Saya sempat melihat tweet seseorang (saya lupa siapa), kalau kasus ini bukan kasus duluan mana ayam atau telor. Metrik tinggi-rendahnya kualitas suatu keamanan yang tentukan ya pihak keamanan. 

Yang jadi konteks keamanan di sini gak soal pemain dan pelatih saja, melainkan seluruh komponen yang ada di stadion itu, salah satunya ya suporter itu sendiri. Mau itu ada yang invasi ke lapangan kek, mau ada yang bawa senjata kek, mau ada yang bawa rudal kek, ya yang ditanya keamanannya udah dijalanin dengan bener belum? 

Yang terjadi justru sebaliknya, pihak keamanan lah yang membunuh orang-orang yang semestinya mereka lindungi, sialnya pajak yang saya bayar dipake buat gaji mereka, buat beli gas air mata, buat beli mobil-mobil kompi yang antar polisi-polisi itu ke stadion. Saya bisa bilang kalau saya kontribusi di tragedi ini, pula semua masyarakat di Indonesia yang bayar pajak. 

Pajak kita semua untuk biayai mereka sekolah, untuk kasih resource yang bisa seleksi mereka, latih mereka supaya mentally stable ketika encounter orang sipil, supaya belajar strategi gimana caranya handle masyarakat dengan minimum casualties. Hasilnya? Mereka malah sibuk bilang kalau suporter duluan yang provokatif. Ya terus ngapain lu lu pade sekolah? Ya itu kerjaanmu, harusnya polisi-polisi ni ngerti gitu gimana caranya dihadapkan situasi demikian, bukannya malah victim blaming. Harusnya kalian-kalian ni lebih ngerti daripada masyarakat umum. Mengesalkannya adalah saya tuh gak punya pilihan untuk berhenti bayar kalian, bikin kalian rugi, supaya kalian dapet punishment dan perbaiki service para polisi ini.

Saat ini saya memiliki satu anak laki-laki umur dua tahun. Bisa dibilang, keresahan saya yang over ini karena saya overly mikirin masa depan dia. Saya berpikir kalau, meskipun saya gak sesuka itu soal sepakbola, ada possibility anak saya bakal suka di masa mendatang. Bahkan nanti mungkin dia ikut keanggotaan suporter tim bola tertentu, who knows? Dan tragedi sebelumnya sangat amat menunjukkan bahwa stadion menjadi bukan tempat yang aman untuk siapapun. 

Mau kamu se-edan suporter sepakbola, atau wanita, atau anak kecil, apalagi disabilitas. Saya pribadi termasuk orang tua yang sebisa mungkin gak banyak larang anak untuk suka sesuatu atau ikut acara tertentu. Tapi kalau taruhannya nyawa beda lagi urusannya, saya bakal agak keras untuk melarang, meskipun saya gak suka juga melarang-larang anak dan sedih tentunya. Itupun masih ada juga kemungkinan anak saya rebel, kabur diam-diam nonton di stadion yang keamanannya dipegang oleh orang-orang gak kompeten soal pengamananan.

Saya cuma bisa bilang kalau this country is a fucking joke, mereka gak berhak atas duit pajak yang sudah saya bayar. Andai saja negara ini ibarat Netflix, yang kalau isinya udah gak menarik lagi, saya bisa unsubscribe. Ngapain saya bayar sesuatu yang saya gak suka? Rasa ingin unsubscribe ini sama halnya dengan perasaan saya terhadap Kemenkominfo yang akhir-akhir ini punya keputusan ngawur, juga terhadap PLN yang memperumit penggunaan solar panel sebagai listrik utama. Bagi saya, cuma ada satu cara untuk gak bayar pajak ke negara ini tanpa melanggar pidana: migrasi ke negara lain. Sebenarnya, niat saya untuk migrasi ini sudah ada dari 6 tahun yang lalu, namun semakin hari semakin kuat rasanya untuk ingin pindah, dan ini sudah melebihi enough is enough.

Selanjutnya saya ingin bercerita soal kenapa negara ini butuh punishment yang bentuknya gak perlu terorisme atau civil war yang makan banyak korban, tapi brain drain yang masif, dilanjut dengan pendapat saya mengenai betapa irrelevant untuk menjunjung tinggi nasionalisme di negara ini, di saat ini. Aspirasi saya mengenai ini semakin kuat setelah membaca satu artikel yang kurang lebih relevan dengan apa yang saya rasakan saat ini, dan mungkin beberapa pemburu migrasi Indonesia lainnya yang akan saya bahas di tulisan berikutnya. Semoga saya masih punya semangat menulis part berikutnya :)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun