Mohon tunggu...
Ken Hanggara
Ken Hanggara Mohon Tunggu... -

Pemuda yang menyukai sastra dan seni. Tulisannya banyak yang berupa cerpen dan puisi, juga beberapa novel. Untuk menghubungi bisa melalui email: kenzohang@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Malaikat Kedua

20 November 2012   03:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:02 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh Ken Hanggara*)

Ini kisah tentang pertemuanku dengan seorang yang kuanggap ibundaku sendiri. Dia salah seorang motivator, inspirator, serta penyemangat yang membuatku bangkit dari cangkang. Yang membuatku keluar dari segala hal yang tadinya kuanggap tak mungkin dan tak pernah kulakukan. Memang kami belum pernah bertemu sekali pun di dunia nyata, hanya di facebook kami saling mengenal. Akan tetapi, pengaruh dari tiap kalimat indah yang ia tujukan padaku, sungguh membuatku patut berterima kasih kepadanya.

Baiklah. Cerita ini kumulai dari beberapa waktu yang kulalui sebelum kami saling mengenal.

Tak seperti biasanya. Beberapa hari terakhir semangatku sangat menggebu-nggebu. Hampir setiap hari aku pergi ke warnet yang letaknya lumayan jauh dari rumah nenekku. Semua itu kulakukan untuk menjemput mimpi-mimpi lamaku—mimpi yang sempat membuatku frustasi di tengah jalan karena berbagai hal yang membuatku berpikir apa aku akan berhasil?

Maklum, cukup lama aku melupakan mimpiku itu. Sebenarnya agak sedikit menyesal diriku dengan kebodohan mengabaikan sebuah mimpi yang melekat dalam hati terlalu lama. Namun segera kutepis rasa sesal, pengutukan diri, serta apa pun itu yang bersifat negatif dari dalam benak dan hatiku. Lembar baru telah terbuka. Setelah berhenti menulis selama satu setengah tahun, kali ini semangatku untuk mengukir tiap kata menjadi sederet kalimat sarat makna kembali merasuki tubuhku--bahkan lebih 'gila' daripada saat pertama kulantangkan mimpiku itu persis di bawah naungan Monas di ibukota Jakarta sana. Berawal dari sebuah kejadian yang membuatku jatuh, perlahan aku bangkit. Entah malaikat mana yang membisikkan kalimat ini tepat di ujung telingaku.

"Cobalah... Sekali saja. Ikut lomba-lomba itu. Siapa tahu kamu menang. Ah, alangkah indahnya jika namamu terpampang di sana sebagai salah satu juaranya. Lagipula ini mimpi lamamu bukan?"

Aku setuju tanpa syarat. Segera kuketik di search engine: lomba menulis tingkat nasional 2012. Mataku serasa berbinar-binar menatap berbagai informasi lomba kepenulisan di sana, baik itu online mau pun offline. Segera kucari mana kiranya yang paling cocok untuk jemariku yang sudah tak lagi lentur seperti dahulu--menyusun huruf demi huruf agar membentuk sebuah keindahan kalimat-kalimat puitis. Pilihan itu antara puisi, cerpen, dan artikel. Aku bingung harus memulai dari mana. Kuputar otakku, kembali ke beberapa tahun sebelumnya. Masih kuingat dulu waktu pertama kali kemampuan menulis merasukiku. Aku menyukai seorang gadis berkerudung teman sekelasku semasa SMA. Dari sanalah tiba-tiba kurasakan jemariku bergerak sesuai dengan imajinasi yang mendadak mengejutkan lamunan—menjadi selembar puisi. Tak terasa, entah berapa lembar kertas yang kunodai demi mengukir puisi-puisi indah yang mengandung rasa kekagumanku padanya.

Ah, terlalu banyak hingga sulit kuhitung!

Sayangnya tak pernah sekali pun aku mengirimkan tulisan-tulisan itu ke media untuk dimuat hingga dibaca banyak orang. Tak terpikir olehku keinginan ke arah itu. Barulah saat aku bertemu seorang teman di Jakarta, hasrat untuk menerbitkan karya mulai menghantuiku. Kami sama-sama kurus, sama-sama perantauan, sama-sama jangkung, dan sama-sama hobi menulis. Ia mendorongku untuk terus mengejar mimpiku menjadi seorang penulis. Waktu itu, kami sama-sama bekerja di sebuah management artist. Yang ada dalam pikiranku hanyalah bagaimana aku bisa mengembangkan hobi menulis menjadi sesuatu yang bermanfaat. Temanku yang baik itu segera menasehati serta membujukku.

"Jangan menunggu laptop itu berhasil kau beli. Waktu semakin lama semakin meninggalkanmu. Kalau aku jadi kamu, aku pasti langsung memulai dari sekarang..."

Hatiku mulai tergerak. Kubulatkan tekad dengan mengambil langkah awal. Bukankah jika kita diam saja mimpi-mimpi itu malah akan lenyap ditelan rasa pesimis? Maka aku mulai mengetik di warnet. Seringkali aku harus berjalan sejauh satu setengah kilometer ke warnet hanya untuk mengetik beberapa lembar tulisan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun