Konon, para pemimpin bangsa ini sebelum datangnya  bangsa penjajah memerintah dengan gaya otoriter, sekali menjadi raja akan tetap menjadi raja kecuali meninggal dunia atau ditumbangkan. Kondisi tersebut menciptakan golongan feodal yang dihormati rakyat dan menciptakan abdi abdi yang hidupnya untuk junjunganya.
Kisah para pengabdi ini tak lekang dimakan zaman namun seiring dengan perkembangan zaman tersebutlah abdi negara yang loyal kepada negara. Negara indentik dengan kekuasaan sehingga tak abdi negara berubah makna menjadi pengabdi kekuasaan. Pemegang tahta kekuasaan memiliki kedudukan tersendiri dimata masyarakat namun dapat hilang dalam sekejab menjadi warga binaan karena bermasalah oleh hukum.
Menjadi walikota termuda ADP yang meraih jabatan kepala daerah ini adalah sebuah prestasi yang membanggakan bagi generasi muda. Tak dinyana dalam masa jabatan yang masih seumur jagung sudah terjerat masalah dengan KPK. Terbetik berita bahwa sang walikota muda ini ingin membantu ayahnya untuk meraih jabatan gubernur.
Para penguasaha yang berada dalam lingkaran kekuasaan ini bersedia membantu dalam budaya yang berkembang seperti saat ini dengan imbalan melancarkan bisnisnya. Alhasil yang terjadi adalah perbuatan yang dinilai menyalah gunakan jabatan.
Menyikapi kondisi tersebut, muncul tafsir hukum baru, korupsi dulu, kalau ketahuan dikembalikan dan bisa tidak dipidana. Tafsir hukum baru ini menjadi dasar kesepakatan antara Mendagri dan institusi penegak hukum. Tafsir ini langsung mengundang polemik, hukum no excuse, korupsi ya korupsi.
Kembali kepada gaya otoriter yang mungkin biayanya lebih kecil dari pada harus demokrasi yang membutuhkan biaya jor joran untuk meraih citra untuk memenangi persaingan. Â Demokrasi tak boleh diganggu gugat, otoriter no way, sudah masa lalu. Namun tanpa disadari terjadi seleksi alam, bagi yang benar2 mempunyai uang dalam membiayai persaingan memiliki kans lebih baik. Namun uang tak berbicara sumbernya, KPK akan selalu mengendusnya sehingga terjadi OTT.
Ibarat buah simalakama, gaya otoriter akan lebih hemat namun tidak disukai, demokrasi membutuhkan biaya sangat besar rentan penyalah gunaan wewenang yang menjadi incaran KPK.Â
Kekuasaan tertinggi ada ditangan rakyat, itu adalah filosofi demokrasi namun faktanya banyak wakil rakyat menjadi pesakitan KPK. KPK menjadi lembaga superbody dapat merontokkan semua kedudukan dalam struktur jabatan pemerintah. Kesepakatan antara Mendagri dan Kejagung serta Polri i agaknya menjadi sebuah perlawanan kepada lembaga adhoc yang superbody ini.
Era Cicak dan Buaya sudah berlalu, sekarang era kesepakatan Mendagri , Kejagung dan Polri apakah akan mengendurkan OTT KPK yang banyak menyasar kepala daerah ?Â