Mohon tunggu...
F. I. Agung Prasetyo
F. I. Agung Prasetyo Mohon Tunggu... Ilustrator - Desainer Grafis dan Ilustrator

Cowok Deskomviser yang akan menggunakan Kompasiana untuk nulis dan ngedumel...

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Puisi | Di Antara Dua Pohon

24 Mei 2019   03:43 Diperbarui: 24 Mei 2019   23:32 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pada judul 'Di Antara Dua Pohon'. coretan sendiri. dokpri

Diantara dua pohon kau berada. Menghadang aliran bening di liukan sungai.
Menepi dari kilauan dunia yang dulu merenggut cahyamu. Pagi itu, terlihat kau memungut lagi carikan muram lusuh yang hanyut bersama bekas pena yang luntur membiru di sekujurnya. Dan kau tetap memungutnya meski tak lagi jelas terbaca. Meski terkunci rapat di mulut hingga dada, kisah itu ngilu terpahat diantara perca-perca kecil yang berharap kau satukan. Ketika lalaiku yang pertama, kau membuka sebuah rahasia lewat garis pena yang hampir kabur di lembaran menggumpal berair.

Yang kupertanyakan dulu adalah kesediaanmu mengambilnya. Karena beberapa yang lain kan menuding untaianku sebagai halaman tiada arti. Kau mengenali guratanku, mengetahui kelepak dan lengkungnya, tapi tak berharap meramal identitas darinya. Tak seperti penujum gadungan yang meski satu jam menumpang duniaku, seribu tahun lebih ia mengolokku.

Sekonyong kau berdiri menghadap bibir samudera, bertanya sembari menyayangkan mengapa hatiku sangat rapuh: sehingga hampir habis hidupku membuang-buang penyesalan yang tersajakkan.

Tapi tak kutahu bagaimana harus menjawab, karena kiranya waktu telah bertanya sepertimu juga. Bertubi-tubi hingga letih di kaki. Seperti abu hutan yang trauma kala api lewat membakarnya. Mungkin yang lepas dari tahumu, jeritan kecewa itu tak kuingin lagi terpapar di udara. Karena sangat menyesakkan alam yang berputar berbinar kurasa. Atau bumi juga telah tuli.

Dan kau kembali membiarkan sang bayu melenakan mahkotamu yang panjang, seperti kekasih yang saling berbelaian. Kembali menatapku dalam setelah sejenak terpejam, Lalu kau palingkan muka melawan keperkasaan mentari yang keemasan di kejauhan. Ku tak setegarmu.

Yang ku tak tahu ternyata kau juga menungguku sedari aku hilang kalbu.
Yang menjadi kekalutanku, setelah pergimu.

/2010
*judul ini adalah salah satu dari 200+ puisi saya dalam projek pribadi di album Nyanthing, Antologi Puisi 2 dekade 1996-2016

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun