Mohon tunggu...
F. I. Agung Prasetyo
F. I. Agung Prasetyo Mohon Tunggu... Ilustrator - Desainer Grafis dan Ilustrator

Cowok Deskomviser yang akan menggunakan Kompasiana untuk nulis dan ngedumel...

Selanjutnya

Tutup

Money

Tak Ingin Menerima Kembalian Berupa Permen? Ikut Menjaga Dong!

14 Juni 2015   00:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:04 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[gambar: uang dinar dan dirham. tautan sumber pada akhir artikel]

Dewasa ini, kita tak dapat mengelak lagi dari sebuah kenyataan yang berlaku secara global bahwa penggunaan uang kartal—atau uang sah sebagai alat pembayaran yang diterbitkan otoritas Bank Indonesia telah mengalami transformasi ke berbagai bentuk karena perkembangan dan kebutuhan masyarakat akan nilai uang itu sendiri.
Uang kartal sendiri diterbitkan oleh pemerintahan yang berkuasa beberapa tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia hingga akhirnya, negara baru yang sedang belajar beradministrasi secara baik ini mengalihkan wewenang ini ke Bank Indonesia. Bank Indonesia (BI) ditetapkan mempunyai hak tunggal (hak oktroi) untuk membuat dan mencetak mata uang rupiah yang sah sebagai alat tukar di Indonesia—seperti yang tercantum dalam Undang-undang Bank Sentral No. 13 Tahun 1968 Pasal 26 ayat 1.

Sampai hari ini, apa yang tercantum dalam UU tersebut masih berlaku. Kita pun masih mendapati uang kartal dalam bentuk tunai cetak atau logam ini dalam keseharian kita, baik di pasar tradisional, atau mall dan berbagai tempat lain tempat kita bertransaksi. Bahkan sewaktu kita masuk ke dalam bank umum, kita masih saja menjumpai ada orang yang membawa ratusan juta dalam bentuk uang kertas ratusan lembar yang digunakan untuk kebutuhan tertentu, pembayaran gaji karyawan misalnya. Tapi bila dirunut dan ditelusuri ke belakang, uang kertas ini pun masih lebih ringan dibawa ketimbang bongkahan kerang yang digunakan dan disetujui bersama sebagai alat pembayaran pada zaman manusia purba setelah era barter—yang ternyata hingga masa modern saat ini pun masih kerap dijumpai. Sebuah gambaran yang memperlihatkan bahwa sejarah uang ini sangatlah panjang [ tautan ].

Saat ini, fungsi sebagai alat pembayaran yang utama masih juga disandang oleh uang kartal atau tunai karena banyak penjual pun tak seluruhnya menerima uang elektronik, e-money, kartu debit dan sejenisnya. Akibatnya, perputaran uang tunai dalam arti sesungguhnya sangat tinggi. Menurut data BI, kecenderungan untuk menggunakan mata uang tunai dalam transaksi ritel di Indonesia adalah salah satu yang tertinggi dibanding negara tetangga ASEAN yakni sebesar 99,4% disusul dengan Thailand sebesar 97,2% serta Malaysia 92,3%; sedangkan negara maju seperti Singapura tampaknya lebih sukses menekan transaksi tunainya hingga 55,5%. Kecenderungan tunai ini imbasnya banyak, salah satunya: menjadi rendahnya tingkat higienis uang kartal itu sendiri karena perpindahannya pada banyak tangan pemegang [ tautan ]. Lagipula, banyak orang Indonesia yang tidak menyimpan uangnya ke dalam dompet khusus melainkan hanya dilipat pada saku yang membuat uang tersebut rentan sobek atau kucel. Sedangkan lainnya, malah menyembunyikan uang dibalik pakaian dalamnya yang mau tak mau memang akan menyebabkan berubahnya aroma uang tersebut ketimbang saat baru saja keluar dari bank. Mungkin supaya lebih aman ^_^ ... 

Berbicara soal aman, kepercayaan masyarakat terhadap cara-cara tradisional memang masih mendominasi. Saat musim ibadah haji beberapa waktu lalu, seorang wanita paruh baya malah didapati membawa magic jar yang berisi tumpukan uang kertas yang sangat banyak. Tidak sempat saya ikuti beritanya untuk mengetahui motifnya karena saat itu saya sedang akan keluar pergi. Bisa saja seperti yang saya sampaikan pada awal paragraf ini, atau bisa jadi lain. Tapi, sekedar menukarkannya ke money changer pun tidak dilakukannya. Apakah tidak tahu bahwa negara asing jarang menerima pembayaran rupiah? saya tak berani mengambil kesimpulan tersebut. Karena sebagaimana orang beribadah haji, biasanya ada pemandu yang menjelaskan semuanya. Lagipula selain pemandu yang mungkin kurang akrab dalam hal komunikasi, bukankah di sekeliling para jemaah haji tersebut terdapat tetangga atau kerabatnya yang terlebih dulu beribadah haji?

Kita kesampingkan dulu masalah keagamaan ini karena menyangkut hal yang cukup sensitif. Hanya saja dari sini pun kita mendapat satu bukti bahwa tingkat kepercayaan orang terhadap hal-hal tradisional itu masih dipegang teguh. Bukankah ini bagian dari kebiasaan menabung dan perlindungan pribadi terhadap harta kekayaan sendiri?

Masyarakat kita harus dicekoki banyak bukti agar percaya bahwa nontunai juga mempunyai kelebihan di banding nontunai. Ada beberapa aspek keuntungan nontunai misalnya: kemudahan transaksi, ketepatan nilai transaksi serta penghematan waktu yang bisa diraih.

Kemudahan transaksi bisa berarti banyak hal, dan masyarakat yang berkecimpung di dunia jual-beli baik sebagai vendor maupun konsumen pasti pernah mengalami sesuatu yang menjengkelkan dari transaksi tunai: kembalian berupa permen di swalayan serta toko-toko kelontong di manapun juga. Bagaimanapun, jumlah uang receh yang beredar tentu terbatas dan ternyata dari semua uang receh yang dibuat dengan biaya tinggi ini tidak semuanya digunakan menjadi alat tukar sebagaimana mestinya terkait kepercayaan masyarakat serta sebab lain. Beberapa sentra game semacam Time Zone memang membuat koin atau tokennya sendiri. Namun di masa lalu, uang receh koin ini berkumpul dan menggunung di kios-kios game arcade (dingdong) karena dengan itulah poin 'credit' game beroperasi—credit adalah sebutan untuk jatah atau kesempatan seseorang untuk menjalankan suatu game setelah kita memasukkan uang koin nominal tertentu. Syukurlah era game dingdong ini sudah kolaps digantikan oleh era konsol bernama XBox atau Playstation dan lainnya yang tak lagi butuh banyak uang koin. Mungkin masih ada beberapa yang bertahan tapi tidak seperti dulu.

Hanya saja, nyatanya masih ada penyelewengan dari kegunaan uang tersebut: karena mitos tertentu sebagian masyarakat pun membuang koin-koin uang di kolam-kolam atau pelataran yang dianggap suci untuk suatu sugesti keberuntungan. Di beberapa tempat, koin-koin tersebut dibiarkan turut menggenangi kolam; tapi di tempat lain koin tersebut dipungut [ tautan ]. Banyak orang juga masih membuang koin di kawah-kawah gunung dimana oleh beberapa pengais rejeki uang tersebut diperebutkan orang-orang yang ada di lereng mulut kawah. Itu untuk koin yang bisa dijangkau. Yang tidak? Ya meluncur ke kawah dan perut bumi, meleleh menjadi wujud yang tidak akan dikenali lagi sebagai uang dan menyatu dengan perut bumi.
Bukankah jika ingin memberi uang bisa memberi saja dengan cara biasa? Kalau tidak mau dianggap pengemis ya pakai jalan lain misalnya ojeg, jualan makanan, menjadi guide, bermain musik memberi hiburan di depot atau warung tertentu. Bisa saja dengan menyediakan kotak donasi seperti yang terdapat di warung-warung, hanya saja khusus koin. Bukankah dalam hal kerelaan memberi juga akan sama?
Sementara sebagian etnis lain mengganti uang untuk 'ritual' ini dengan uang palsunya sendiri untuk dibuang atau dibakar. Memang akan cenderung ribet, tapi sisi positifnya adalah tidak membebani pemerintah untuk mencetak uang baru [ tautan ].

Saya masih ingat ketika saya masih berada di sekolah menengah pada tahun 90-an, ada tren yang sempat menjangkiri teman-teman pria saya yaitu mereka tergila-gila memakai cincin berwarna kuning. Cincin tersebut bukan cincin akik yang sekarang juga sedang tren. Katanya, cincin tersebut diperoleh dari hasil membentuk kembali dari fisik uang koin asli yang saat itu beredar. Saya tidak tahu persis saat itu tentang bagaimana cara pengolahannya, tapi saya pernah menemui seorang teman saya yang tengah melubangi uang koin tersebut dengan tujuan supaya bisa membentuk cincin yang bisa dipamerkan tadi. Baru-baru ini saja saya menemukan cara-cara bagaimana mengubah uang koin tersebut menjadi cincin yang halus mulus [ tautan 1 ] [ tautan 2 ], dan tak ketinggalan uang kertas pun jadi sasaran origami dengan cara melipat-lipatnya [ tautan 3 ]. Mungkin hal seperti ini adalah salah satu upaya untuk eksis di masa itu, tapi ada juga yang bertujuan lain [ tautan ]. Ada kemungkinan bila uang logam tersebut dilebur menjadi batangan logam tertentu atau mencampurnya dengan logam lain sesuai kebutuhan, bila harga jual logam hasil peleburan uang tersebut lebih tinggi dari nominal uang tersebut [ tautan ].

Beberapa hal ini sangat kontras dengan bagaimana pernah dengan susahnya saya mencari recehan sebagai kembalian itu tadi, yang mungkin juga dilakukan oleh pemilik toko lainnya. Ketika saya masih tinggal satu rumah dengan orang tua saya serta bertugas untuk melayani pembeli di toko, memang terdapat beberapa pembeli yang menggerutu jika diberikan permen sebagai kembalian ini meski ada beberapa pembeli lain yang malah tidak mau menerima kembalian recehan tersebut, mirip adegan film Hollywood saat terakhir aktor menghampiri sopir untuk membayar jasa tumpangan taksinya, "ambil saja kembaliannya mas..."
Kerepotan tersebut begini: saya pernah kesasar dan ditolak oleh petugas di pintu parkir BI Surabaya yang berpesan supaya saya pergi ke bank komersial di bawah BI untuk kebutuhan uang receh karena uang receh ini telah didistribusikan ke bank-bank tersebut. Tetapi, untuk seluruh bank di bawah naungan BI ini tidak semuanya melayani penukaran semacam ini. Dan yang melayani pun tetap ada pembatasan. Memang susah juga bila ada peraturan 'jatah khusus' dari pihak bank tersebut dan baru bisa melayani penukaran hanya pada waktu-waktu tertentu sedangkan kebutuhannya sangat banyak. Tapi saya juga menyadari bahwa toko di sekitar saya juga banyak. Belum lagi di tempat lain yang kebutuhannya sama.

Untungnya, keluarga saya mempunyai langganan dari kalangan perbankan untuk kebutuhan penukaran uang receh ini meski kadang tidak bisa harus mutlak tergantung pada bank tersebut karena ketiadaan recehannya. Selain itu, cadangan uang receh ini pun akan cepat habis manakala uang dengan nominal di atasnya tak tersedia. Di beberapa toko yang saya temui penjualnya pun mengeluh, bahwa saat ini lebih mudah menemukan uang kertas pecahan lembaran dua ribuan ketimbang seribuan. Lainnya: untuk mencapai nilai seribu rupiah, terkadang ada orang yang menselotip sepuluhan koin seratusan. Atau minimal yang sering saya jumpai adalah selotipan lima koin seratusan untuk mencapai nominal lima ratus rupiah. Seringnya, saya harus melepas selotip tersebut ketika ada kebutuhan akan recehan yang lebih kecil. Dan ternyata saya melihat pula beberapa orang yang demikian juga...

Jadi bila sekali waktu hanya ada kembalian berupa permen dari toko bapak saya... mohon jangan menggerutu pula karena segala sesuatunya juga telah sangat diusahakan sebelumnya ^_^ hehehe...

Baru-baru ini saya mendapati berita tentang Perum Peruri yang bertugas mencetak dokumen penting dan uang negara kewalahan mengakomodasi permintaan BI akan kebutuhan uang tunai tersebut [ tautan ]. Dan secara teori dari yang saya tahu, peredaran dan pencetakan uang tersebut dibatasi dengan ketat untuk mencegah inflasi akibat banyaknya lembar uang yang beredar di masyarakat. Tapi di sisi lain, ada sejumlah uang rusak yang harus diganti serta kebutuhan lain terkait dengan transaksi ritel menggunakan tunai pada kehidupan masyarakat ini, meski ada aturan yang jelas terkait penggantian tersebut [ tautan ]. Termasuk bila ada kejadian tak terduga di luar perkiraan [ tautan ] maupun semacam kebakaran yang menghanguskan uang gaji dalam bentuk tunai [ tautan ], yang merupakan sisi negatif dari uang tunai tersebut; Meski mungkin ada kasus lembaran uang yang sengaja dibakar untuk tujuan penipuan [ tautan ].
Berbicara tentang kebakaran sebelumnya, telah ada banyak kasus baik kecil atau besar dimana pasar atau rumah, bisa jadi di dalamnya ada uang terbakar dengan nominal yang sangat besar [ tautan 1 ] [ tautan 2 ] [ tautan 3 ]. Dan beberapa orang yang terkena musibah seperti ini memang nyata sangat mengeluh karena mungkin seluruh uangnya disimpan di lemari atau di bawah bantal, bukan pada server bank dalam bentuk data.
Kecuali yang terbakar adalah server bank, mungkin sebagian besar orang modern yang merupakan nasabah bank tersebut baru nyaho! ^_^ Bisa jadi adalah sebuah kebodohan perbankan saat data servernya diketahui tidak mempunyai backup data ditempat lain. Dan karena adanya sistem yang saling terkait dan terkoneksi inilah yang merupakan kelebihan sistem online dari sebuah bank dan kelebihan sistem nontunai.

Sebetulnya, ada cara yang menyenangkan berupa simulasi yang bisa diterapkan berkenaan tentang keterbatasan peredaran uang dan kemudahan bertransaksi ini, apalagi bila orang tersebut adalah gamer. Ada banyak game yang melibatkan transaksi uang untuk membeli sesuatu atau mengupgrade skill jagoannya. Masyarakat gamer ini mungkin adalah termasuk masyarakat modern yang telah mengenal mesin ATM, kartu gesek dan lainnya. Tetapi bila termasuk tradisional, mungkin bisa memainkan simulasi jual-beli seperti permainan Monopoly. Monopoly yang saat ini merupakan merk dagang dari perusahaan mainan bernama Hasbro ini bisa menjadi pembelajaran dimana kendalanya adalah terbatasnya lembar uang cetak dalam satu paket mainannya. Belum lagi kalau ada sobek dan kucel karena sering dimainkan. Bagaimana solusinya? Bisa dengan cara pencatatan manual pada kertas, atau melalui penggandaan: uang kertas yang masih ada bisa difotokopi. Kelemahan uang fotokopi ini mungkin adalah bila mata uangnya mempunyai tinta dominan warna kuning ^_^.

Dan kerepotan seperti ini tak ditemukan dalam versi digitalnya yang tak terbatas limit tertentu dari segi jumlah lembaran uangnya. Sebenarnya dalam permainan konvensional juga tak ada limit tertentu akan kekayaan yang bisa dipunyai pemain, hanya saja memang akan membutuhkan perhatian lebih bila ternyata lembar uangnya habis. Tapi dari hal seperti ini bisa dipetik hal sederhana, bahwa peredaran serta jumlah uang tunai bisa terbatas seperti itu, dan bila ada kebutuhan tunai di masyarakat maka harus dicetak ulang lembaran tunainya.

Sebagai praktisi desain dan pernah bekerja di percetakan, saya paham akan banyaknya problematika pada bidang cetak selain ribetnya desain pada saat pracetak; hanya saja jika hasil cetaknya adalah uang kertas mungkin akan lebih rumit dari segi teknis awal perancangan hingga finishing atau hasil akhirnya, dimana kesalahan dan kerusakan yang terjadi juga dihitung secara rinci nantinya—meski sebelumnya telah dihitung sebagai marjin error saat produksi. Beberapa macam kesalahan pada kebanyakan percetakan dapat juga terjadi pada uang dan hal ini secara otomatis akan meningkatkan biaya produksi untuk beberapa hal yang seharusnya bisa dihemat [ tautan ]. Ketidaksengajaan yang lebih bisa disebut kecerobohan bisa juga akan membuat pencetakan ulang harus dilakukan lagi untuk mengganti kerusakan yang terjadi [ tautan ]. Belum lagi adanya limbah pencetakan uang yang tidak dikelola dengan baik—atau karena kekhilafan tertentu akan bisa menjadi kerepotan tersendiri bagi pihak tertentu untuk menyelidiki hal yang seharusnya tak perlu dilakukan [ tautan ].

Kesimpulannya, banyak liku-liku dalam kebiasaan tunai kita. Telah ada banyak usaha yang harus dilakukan oleh pihak BI sebagai penerbit sah uang kartal atau uang tunai tersebut untuk penerbitan dan pencetakannya selain untuk menjaga ketersediaan uang tunai di masyarakat. Dari berbagai kerugian dan kerepotan yang bisa terjadi seperti yang telah dipaparkan, mulai sekarang ada baiknya kita mengurangi transaksi tunai kita dan menggantinya dengan nontunai. 

.

.

.

.

.

sumber gambar luar:

[ tautan 1 ] [ tautan 2 ] 

* Pertama kali dimuat di Kompasiana untuk blog event "Saatnya Non Tunai" dari BI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun