Mohon tunggu...
kelvin lutfi
kelvin lutfi Mohon Tunggu... -

thinking out loud

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sulap Hukum Perdata atau Pidana, Dagelan Poli(tikus) dalam Lembaga Hukum Indonesia

24 Maret 2016   09:37 Diperbarui: 24 Maret 2016   11:01 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Terkait dengan ribut-ribut permasalahan Perdata yang dipidanakan oleh Kejagung, saya membuat tulisan ini hanya untuk mengingatkan. Bisa berguna untuk (informasi) kepada masyarakat, atau bagi Kejanggung yang mungkin sudah Lupa Hukum, Lupa Sejarah, atau (maaf) Lupa diri. Dugaan pelanggaran Kontrak Kerjasama BOT (Build Operate Transfer) yang di tuduhkan PT. HIN kepada PT. GI menyisakan polemik dibidang Hukum. Terlebih saat Kejaksaan Agung (yang seharusnya menangani delik Pidana) tiba-tiba menganggap  ini kasus Pidana dan sampai saat ini terus memproses kasus ini dengan  pemanggilan saksi-saksi.

Lupa Hukum

Pangkal kasus bermula ketika Komisaris PT HIN Michael Umbas berbicara di media bahwa PT GI membangun Apartemen Kempinski dan Menara BCA di kawasan Bundaran Hotel Indonesia secara ilegal karena gedung tersebut tidak tertera dalam perjanjian awal. Perlu kita ketahui, status kerjasama antara (BUMN) PT Hotel Indonesia Natour (HIN) – PT Grand Indonesia (GI) tertuang dalam bentuk kerjasama BOT (Build Operate Transfer).

Bentuk perjanjian kerjasama antar kedua perusahaan ini artinya adalah wilayah sipil. Jika sudah kita pahami bahwa ini adalah kesepakatan perjanjian sipil, artinya tidak bisa kemudian dikriminalisasi, hanya karena ada kelemahan dari salah satu pihak untuk mencapai klaim kesepakatan. Terkait dengan langkah yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung dengan melakukan penyelidikan akan kasus ini, adalah langkah yang salah. Kejaksaan Agung tidak bisa mempidanakan kasus ini, Atau bahasa lainnya mengkriminalisasi kasus ini.

Pada dasarnya untuk menyetujui dan menandatangani perjanjian BOT,  pemerintah tidak benar-benar melakukan pekerjaan, aset bisnis yang dimiliki dikerjakan bersama dengan swasta. Nah, dalam bisnis pasti ada kemungkinan kehilangan keuntungan, dan sebaliknya. Jika pemerintah merasa ada kerugian, memang harus mempertimbangkan kembali kesepakatan itu.

Jika memang dianggap terdapat wanprestasi atau pengingkaran atau pelanggaran perjanjian Disini pemerintah dapat melakukan penyelesaian secara non-litigasi dengan cara negosiasi maupun mediasi. Namun dapat dipahami, bahwa kita kembali kepada prinsip pacta sunt servanda yang dituangkan di dalam KUHPerdata pasal 1338. Tentang “asas kebebasan berkontrak” yang mendefinisikan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Penjabaran tersebut adalah langkah yang harus ditempuh dalam penyelesaian (sengketa) Kasus Perdata, bukan semerta-merta dipidanakan. Melihat langkah yang diambil oleh Kejaksaan Agung Nampak nya Kejagung ingin membuat sesuatu yang berbeda. Entah Kejagung Lupa proses Hukum, atau justru ingin membuat “Terobosan” Hukum ? Lihat

 

Lupa Sejarah

Ternyata Lembaga Kejaggung tidak sekali ini dinilai “abuse of power” Jika kita ingat tahun 2004 lalu,  ketika Kejaksaan Agung menyidik kasus restitusi pajak PT Mobile 8. Dalam kasus itu, Kejagung menggiring opini dengan mengaitkan Ketua Umum Perindo Hary Tanoesoedibjo ketika menjadi komisaris di perusahaan tersebut. Kasus ini mendapat perhatian Komisi III DPR dengan membuat Panitia Kerja (Panja) Mobil 8 yang terus memonitor perkembangan kasus tersebut. Ketua Panja Mobile 8 Desmond Junaidi Mahesa mempertanyakan wilayah yuridiksi Kejagung dalam melakukan penyelidikan dalam kasus tersebut karena jika dilihat dari bentuk kasusnya, yang berhak menanganinya adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Selain itu, Dirjen Pajak Ken Dwi juga mengatakan tidak ada masalah dalam restitusi pajak PT Mobile 8. Namun, hingga saat ini Kejagung masih melakukan penyelidikan meskipun hal itu bukan kewenangannya.

Pada kasus lainnya, Kejagung dianggap tidak berwewenang ketika memanggil Ketua Gafatar ke Kejagung. Koordinator Setara Institue (Hedardi) menilai Kejagung tidak berhak untuk menuntut seseorang karena beda keyakinan dan pemikiran dengannya. Menurutnya tindakan represif yang dilakukan Kejagung tidak mencerminkan aparat penegak hukum yang menghormati Hak Asasi Manusia (HAM). Hendardi juga menilai jika memang Gafatar adalah satu gerakan yang menyesatkan dan menghina satu agama tertentu, seharusnya dibukakan ruang dialog, bukan mai tangkap dan mengadilinya karena penistaan agama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun