Mohon tunggu...
Gadget

Fintech Peer-to-Peer Lending sebagai Terobosan dalam Peminjaman Dana di Era Digital

14 Mei 2019   00:42 Diperbarui: 14 Mei 2019   01:03 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar II.1 Perbandingan antara jumlah dan variasi fokus utama segmen pasar fintech lending/Olahan pribadi

Kendala dalam Fintech Peer to Peer Lending

Di samping menghadirkan peluang yang besar, fintech P2P lending juga memunculkan berbagai tantangan, salah satunya adalah maraknya penyelenggara fintech lending ilegal yang tidak terdaftar oleh OJK. Dikutip dari Satgas Waspada Investasi OJK, pada tahun 2019, terdapat sebanyak 543 entitas fintech P2P lending yang tidak memiliki izin. 

Sesuai dengan Pasal 7 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, penyelenggara fintech lending wajib mendaftarkan diri kepada OJK untuk memiliki izin melakukan kegiatan usaha. Adanya fintech lending ilegal memperbesar potensi kerugian yang dialami oleh masyarakat, mulai dari penyalahgunaan data nasabah hingga penagihan pinjaman yang bersifat mengancam.

Dilansir dari CNN Indonesia, payung hukum yang minim terhadap penyelenggaraan fintech lending menjadi salah satu permasalahan utama dalam penanganan fintech lending ilegal. Peraturan yang ada masih sebatas POJK sehingga sanksi yang diterapkan hanya berupa sanksi administrasi, yaitu pencopotan izin. Terlebih, berdasarkan POJK, OJK hanya memiliki wewenang dalam mengawasi fintech lending yang terdaftar sehingga transaksi yang dilaksanakan oleh fintech lending ilegal menjadi sangat berisiko.

Menurut Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK, Hendrikus Passagi, penanganan kasus fintech lending ilegal ini membutuhkan payung hukum yang lebih tinggi, yaitu setara dengan undang-undang agar dapat menjatuhkan sanksi tegas terhadap oknum berupa sanksi pidana. Kendati demikian, OJK, Bareskrim Polri, Kementrian Kominfo, dan Bank Indonesia berupaya untuk memberantas fintech lending ilegal dengan melakukan penutupan akses keuangan penyelenggara dengan perbankan hingga pemblokiran situs web dan aplikasi fintech lending ilegal.

Selain ramainya kasus fintech lending ilegal, suku bunga kredit yang ditetapkan dirasa terlampau tinggi apabila dibandingkan dengan bank konvensional. Menurut OJK, penetapan tingkat suku bunga kredit ditentukan berdasarkan mekanisme pasar yang merujuk pada tingkat permintaan (supply) dan penawaran (demand) dari pelaku usaha. Selain itu, suku bunga pun dapat ditentukan berdasarkan penetapan benchmark dengan mengacu pada suku bunga bank BUKU I, BUKU II ataupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR). 

Tingginya suku bunga mencerminkan tingginya tingkat risiko berdasarkan kemampuan membayar calon peminjam. Terkait kondisi tersebut, OJK tidak lepas tangan begitu saja. Secara tidak langsung, OJK mengatur tingkat suku bunga melalui asosiasi yang telah ditetapkan secara resmi, yaitu Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). 

AFPI menetapkan suku bunga maksimum sebesar 0,8 persen per hari yang merujuk pada peraturan OJK Inggris, sehingga nilainya tidak serta merta dikeluarkan secara asal-asalan. Di samping itu, tingkat kompetisi antara para penyelenggara fintech lending memegang peranan penting dalam stabilitas suku bunga kredit. Suku bunga yang terlalu tinggi akan mengakibatkan larinya konsumen menuju kompetitor sehingga penyelanggara akan menetapkan suku bunga berada di kisaran nilai normal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun