Pernahkah kalian merasa hari-hari bergerak monoton. Bangun di pagi yang sama setiap hari, buka handphone, sembahyang, mandi, sarapan, lalu berangkat ke kantor. Di kantor, menyelesaikan tugas yang diberikan, pulang ke rumah, tidur, dan mengulang siklus yang sama di keesokan harinya.
Ketika menscroll laman gadget media sosial, nampaklah story dan feed orang-orang bertebaran. Entah di Whatsapp, Facebook atau Instagram. Mereka menghabiskan waktu untuk membuat dan membagikan konten. Harapannya mendapat "like," komentar, atau pengikut yang lebih banyak. Meskipun respons positif nitizen dapat memberikan kepuasan sementara, tapi kebutuhan untuk terus menghasilkan konten baru demi memperoleh validasi, menjadi siklus yang melelahkan dan sia-sia.
Di sisi lain, banyak individu terobsesi mencapai standar kecantikan atau kebugaran tertentu. Mereka menggunakan kosmetik yang tengah populer, FOMO running, nge-gym atau menjalani diet ekstrem demi mencapai "tubuh ideal." Meskipun upaya ini seringkali tidak membawa kebahagiaan atau kepuasan jangka panjang tapi kok ya terus dijalani. Boleh jadi inilah yang disebut absurditas kehidupan modern. Inilah dunia Sisifus masa kini.
Albert Camus, dalam Mitos Sisifus, mengajukan pertanyaan mendasar: apakah hidup layak dijalani ketika pada dasarnya ia tidak memiliki makna objektif? Ia mengibaratkan manusia seperti Sisifus, tokoh dalam mitologi Yunani yang dihukum untuk terus-menerus mendorong batu ke puncak gunung, hanya untuk melihatnya jatuh kembali. Tidak ada akhir, tidak ada tujuan final. Hanya siklus yang terus berulang.
Siapa Albert Camus?
Sebelum lebih lanjut, mari berkenalan terlebih dahulu dengan penulis Mitos Sisifus, Albert Camus (1913–1960). Beliau adalah filsuf dan jurnalis Prancis kelahiran Mondovi, Aljazair, 7 November 1913. Ia disebut sebagai "pied-noir", istilah yang merujuk pada orang-orang Prancis yang lahir di Aljazair selama masa kolonial.
Karyanya banyak mengeksplorasi tema absurditas kehidupan, pemberontakan, dan pencarian makna dalam dunia yang tidak masuk akal. Camus dikenal sebagai salah satu tokoh utama “eksistensialisme” dan “absurdisme”, meskipun ia sendiri menolak label eksistensialis.
Beberapa karya populernya antara lain: “L'Etranger (Orang Asing atau The Stranger, 1942)”, novel yang menggambarkan keterasingan dan absurditas melalui tokoh Meursault. Kemudian ada “L’Homme révolté (Manusia Memberontak, 1951)”, yaitu esai yang membahas pemberontakan manusia terhadap absurditas dan ketidakadilan. Ada juga “La Peste (Sampar, 1947)”, novel alegoris tentang wabah yang bisa diinterpretasikan sebagai perlawanan terhadap totalitarianisme.
Selanjutnya ada karya yang menjadi sumber atau topik pembahasan kita kali ini, yaitu “Le Mythe de Sisyphe (Mitos Sisifus, 1942)”, sebuah esai filsafat yang menjelaskan gagasan absurdisme, dengan metafora Sisifus yang terus mendorong batu tanpa tujuan.
Camus ini dipersonakan sebagai pria tampan, dengan fitur wajah tegas dan ekspresi yang dalam. Salah satu foto ikonik Albert Camus menampilkan dirinya mengenakan mantel trench coat, dengan rokok di bibir, dan senyuman tipis. Foto ini diambil pada masa ketika Camus aktif di Paris, khususnya selama keterlibatannya dalam gerakan perlawanan Prancis selama pendudukan Nazi. Penampilannya yang khas dengan mantel tersebut menjadi ciri yang sering diasosiasikan dengannya.
Ia menikah dua kali, yaitu dengan Simone Hie (1934-1936) dan Francine Faure (1940-1960) yang melahirkan putri kembar Catherina dan Jean. Selain dua pernikahannya, Camus diketahui sering menulis surat cinta kepada beberapa wanita, salah satunya yang tersohor adalah affairnya dengan aktris cantik Maria Casare selama lebih 15 tahun. Yang menarik, meskipun ia menderita tuberkulosis sejak muda, Camus adalah seorang perokok aktif.