Mohon tunggu...
Kelik Novidwyanto
Kelik Novidwyanto Mohon Tunggu... Penulis lepas; Pegiat di Komunitas Disambi Ngopi; Birokrat

Mulai aktif menulis sejak masih kuliah, ketika bergabung dengan Persma BPP Cakrawala serta kepengurusan HMI. Memiliki minat di bidang psikologi dan humaniora. Beberapa tulisannya dimuat di Kumparan, Brilio dan media online lainnya. Saat ini berprofesi sebagai birokrat di Pemerintah Kota Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dunning Kruger Effect dan Kebijaksanaan Belajar

10 Februari 2025   15:34 Diperbarui: 12 Februari 2025   19:32 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Efek Dunning Kruger, belajar sedikit tapi merasa ahli (Sumber: Meta AI)

Pembaca buku Enid Blyton, terutama "Five on a Secret Trail" (Lima Sekawan dalam Jejak Rahasia) pasti tahu bahwa kita bisa membuat pesan rahasia dengan menggunakan air jeruk sebagai tinta tak terlihat (invisible ink).

Uniknya, pada 19 April 1995 di Pittsburgh, Pennsylvania, Amerika Serikat, seorang pria bernama McArthur Wheeler mencoba merampok bank dengan wajah dilumuri air jeruk lemon. Dia meyakini bahwa air jeruk tersebut membuat wajahnya tak terlihat. Dia tidak memahami cara kerja air jeruk sebagai invisible ink, tetapi tak sadar bahwa dirinya tidak paham.

Meski telah dilumuri lemon, toh wajah McArthur tetap terekam CCTV. Ia pun ditangkap polisi pada malam yang sama setelah fotonya disiarkan di berita. Kasusnya mengilhami David Dunning dan Justin Kruger untuk melakukan serangkain penelitian pada tahun 1999, mengenai bias dalam cara berpikir manusia: benak manusia kesulitan menilai kemampuan mereka sendiri.

Dalam penelitian mereka yang berjudul "Unskilled and Unaware of It: How Difficulties in Recognizing One's Own Incompetence Lead to Inflated Self-Assessments" (Tidak Terampil dan Tidak Menyadarinya: Bagaimana Kesulitan dalam Mengenali Ketidakmampuan Diri Sendiri Menyebabkan Penilaian Diri yang Berlebihan), Dunning dan Kruger melakukan serangkaian eksperimen dengan menguji kemampuan peserta dalam bidang logika, tata bahasa dan humor.

Mereka meminta peserta menyelesaikan tes dalam bidang tersebut. Setelah itu, peserta diminta untuk menilai seberapa baik mereka berpikir telah melakukannya dibandingkan dengan peserta lain. Hasilnya dibandingkan antara penilaian subjektif peserta dan skor objektif mereka.

Hasil penelitian menunjukkan peserta dengan skor rendah (paling tidak kompeten) justru merasa tampil lebih baik. Mereka tidak memiliki cukup pengetahuan untuk menyadari kesalahan mereka sendiri. Sedang peserta dengan skor tinggi (paling kompeten) cenderung meremehkan kemampuan mereka sendiri. Orang-orang ini mengira bahwa jika mereka bisa memahami sesuatu dengan mudah, orang lain juga pasti bisa.

Dunning dan Kruger kemudian membuat grafik untuk menggambarkan beberapa fase berdasarkan hasil penelitian mereka:

  • "Puncak Gunung Kebodohan": Orang baru belajar sesuatu dan merasa sudah sangat paham, padahal masih dangkal.
  • "Lembah Keputusasaan": Setelah memahami lebih dalam, mereka menyadari banyaknya hal yang tidak mereka ketahui.
  • "Lereng Pencerahan": Dengan lebih banyak pengalaman, kepercayaan diri mulai meningkat dengan lebih realistis.
  • "Dataran Tinggi Kebijaksanaan": Seseorang menjadi ahli dan memiliki kepercayaan diri yang stabil dan berdasarkan kompetensi nyata.

Penelitian Dunning Kruger ini menghasilkan kesimpulan bahwa orang-orang berkemampuan rendah biasanya punya ilusi superioritas. Mereka mengira kemampuan mereka jauh lebih baik ketimbang kenyataannya. Mereka merasa menguasai persoalan, padahal sesungguhnya tidak. Mereka merasa tahu banyak tentang sesuatu, meski sebenarnya pengetahuan mereka tentang itu benar-benar nol atau bahkan minus.

Kita bisa melihat fenomena Efek Dunning Kruger ini saat pandemi Covid-19, di mana banyak influencer tanpa latar belakang medis berbicara dengan penuh keyakinan tentang cara menyembuhkan penyakit hanya dengan pola makan, tanpa bukti ilmiah. Sialnya, masyarakat lebih percaya pada mereka dari pada pernyataan para ahli. Sehingga berita hoax muncul di mana-mana tak terkendali.

Sebaliknya, orang yang sangat kompeten cenderung mengalami 'impostor syndrome', di mana mereka meragukan keahlian mereka sendiri karena sadar akan kompleksitas bidang tersebut. Orang-orang dengan kemampuan superior biasanya mengira tugas yang mudah bagi mereka, pasti mudah pula bagi orang lain. Dengan kata lain, mereka menilai kemampuan mereka lebih rendah dari seharusnya.

Di sisi lain, penelitian ini menunjukkan bahwa semakin seseorang meningkatkan keterampilannya, semakin ia sadar akan keterbatasannya. Orang yang belajar lebih dalam akan mulai menyadari betapa luasnya bidang yang mereka pelajari. Contohnya, seorang mahasiswa kedokteran di awal mungkin merasa percaya diri, tetapi setelah masuk lebih dalam, mereka menyadari betapa kompleksnya ilmu medis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun