Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Batu, Tupai, dan Hakikat Belajar

2 Mei 2021   10:15 Diperbarui: 2 Mei 2021   10:48 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Momen sosialisasi sebelum beberapa hari kegiatan "Mengajar Sehari Selamanya Menginspirasi" dihelat. (Foto: dokumentasi pribadi.)

Jadi cukuplah berhenti di kata "rahasia", saya tak ingin merusak masa lalu yang saya anggap indah (untuk dikenang).

Mungkin radio coach saya benar. Saya adalah tipe pemikir berat yang kadang sangat sulit diajak bersenang-senang oleh orang lain. Tidak seperti dia yang setiap hari sepanjang saya mengenalnya selalu bisa menghadirkan tawa terhadap orang yang dia temui—selalu bisa menghangatkan hati dan tentu saja tak sulit mengajaknya bicara dari hati ke hati.

"Kamu cuma butuh lebih banyak senyum. Ngga perlu seluruh isi dunia harus masuk dalam kepala kamu." Pungkasnya suatu kali lalu setelahnya tergelak di hadapan saya. Mungkin pula secara langsung (atau tidak?) dia sedang menertawakan keruwetan isi kepala saya. Hehe.

Mungkin radio coach saya benar—sekali lagi saya harus membenarkan ucapannya hari itu. Saya—memang—adalah tipe orang yang tidak jago berbasi-basi untuk hal yang tak penting-penting amat—alih—alih sengaja bermanis-manis rupa di hadapan orang-orang yang berbicara dengan saya.

Tetapi, tidak di hadapan anak-anak. 

Saya seolah takluk. Sisi kanak-kanak saya bisa dengan lekas bergejolak. Dengan jiwa yang lapang, hati saya penuh dengan kehadiran utuh sebagai manusia yang begitu kecil dengan keinginan tahu yang membulat besar. Silakan bayangkan sendiri, Kawan, karena saya terkadang kehabisan kata-kata untuk menggambarkan mereka.

Pada akhirnya, izinkan saya berkata bahwasanya di hadapan mereka, jiwa saya seolah "menundukkan" diri; sejajar dengan kemurnian hati: kepolosan mereka yang menari-nari adalah bentuk panggilan bagi saya.

Kemurnian hati mereka pulalah yang membuat saya pernah terpanggil untuk ikut bagian dalam mengajar sehari dalam gerakan Kelas Inspirasi.

Ketika itu saya membidangi bagian perekrutan para relawan pengajar yang bersedia ingin berbagi dalam sehari yang menginspirasi tersebut. Selama proses berjalannya, meski lelah fisik dan mental, saya merasa puas melihat wajah ke-Indonesia-an dari dekat—wajah-wajah penuh harapan akan cita-cita—untuk turut andil berkontribusi memajukan Indonesia—di masa depan lengkap dengan segala "kepayahan" yang menyertai perjuangan mereka.

Hamburkanlah lagi banyak pertanyaan yang sama: mengapa harus anak-anak?

Maka boleh jadi akan saya jawab dengan versi lain tetapi tetap dalam gugusan yang sama dan tak keluar dari porosnya: karena dari anak-anak lah saya mampu bercita-cita lebih tinggi; berpengharapan yang tak putus-putus—setidaknya sebelum manusia dewasa seperti kita meneror mereka dengan kekhawatiran—alih-alih rasa takut—tentang masa depan.

Saya justeru belajar dari mereka, saya murid di hadapan mereka. Saya bisa merasa merdeka belajar dari mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun