Mohon tunggu...
Kebijakan

Jika Aku Jadi Menteri Agama RI

4 Agustus 2018   11:20 Diperbarui: 4 Agustus 2018   11:40 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Peradaban manusia saat ini semakin tampak gelap dan bobrok
Kemudahan akses untuk menerima dan berbagi informasi membuat setiap pengguna jejaring internet harus lebih piawai menilik kebenaran suatu berita. Ya, dunia tengah dirudung oleh berita yang tidak benar. Ditambah semakin banyaknya pengguna yang kerap terobsesi untuk mengunyah dan membagikan berita dengan cepat tanpa ingin bersusah payah memainkan daya pikirnya. Sehingga terlepas dari unsur kesengajaan atau pun tidak, mereka adalah penyebar virus dusta.

Setiap berita bohong yang tercipta, merupakan buah pemikiran seseorang atau pun suatu golongan untuk mencapai suatu kepentingan. Tak peduli akan apa, siapa, dan bagaimana berita bohong itu akan berdampak. Berdasarkan banyak peristiwa yang telah terjadi, dapat kita lihat sebegitu hebatnya berita yang tidak benar dapat membakar emosi dan memompa kebencian dalam suatu masyarakat. Terlebih jikalau hal itu dikaitkan dengan unsur SARA, Indonesia akan semakin berapi. Siapa yang bertanggung jawab? Semua membisu. Mungkin mereka tengah menahan gelak akibat skenario yang mereka ciptakan.

Lalu, bagaimana nasib penyebar virus dusta yang bahkan tidak sadar pada awalnya? Si penyebar merupakan korban yang menimbulkan lebih banyak korban berita tidak benar. Setelah kebenaran terungkap, ia akan dianggap sebagai penipu. Ia akan dikenal sebagai seseorang yang berbicara tidak sesuai fakta dan dipandang tidak mampu menyaring informasi dengan baik. Sehingga nama baik dan reputasinya dalam lingkungan bermasyarakat akan tercemar. Bagaimana tidak? Ia telah merugikan setiap pembaca maupun pendengar informasi salah atas berita yang telah ia sebar. Tentu, berita tidak benar yang ia sebar membuat dirinya berada dalam situasi yang tak ia duga sebelumnya.

Hal ini tidak boleh terus menjamur dan menjadi hal yang lumrah. Memang benar adanya bahwa literasi media dan berita untuk masyarakat adalah tugas bersama yang tak bisa diselesaikan secara instan belaka. Virus dusta ini, hanya bisa dilawan dengan taktis bagi yang mampu berpikir logis dan kritis. Disinilah peran setiap stakeholder perlu dioptimalkan. Pemerintah, media arus utama, dan masyarakat harus saling bersinergi untuk memutus rantai kebohongan.

Lantas, apa yang dapat dilakukan dan perlu dibenahi?
Jikalau boleh berandai, dalam hal ini saya ingin menempatkan diri saya sebagai Menteri Agama Republik Indonesia. Hal pertama yang saya pikirkan dalam mengatasi permasalahan hoaks adalah dengan mengoreksi sistem dan mutu pendidikan. Percayalah, bobroknya peradaban tidak bisa lepas dari pendidikan. Sebab, pendidikan adalah salah satu pilar peradaban. Pendidikan yang baik tentu berpengaruh juga pada peradaban yang semakin baik pula. Akan tetapi, pendidikan saat ini masih menyisakan pertanyaan. "Kenapa sekarang semakin banyak orang terpelajar, tapi kerusakan di masyarakat semakin banyak?"

Fenomena ini menjadikan kita wajib menganalisa sistem pendidikan yang berlaku di mayoritas negara. Hari ini, hampir semua negara termasuk negeri-negeri muslim menerapkan sistem pendidikan sekuler yang menganut prinsip dikotomi pendidikan agama dan pendidikan umum. Hal ini berpengaruh pada kurikulum pendidikan yang menjadikan ilmu-ilmu umum yang diajarkan lebih dominan, sedangkan ilmu agama kurang dari 10%. Akibatnya setiap jenjang pendidikan diberi 2 pilihan, jadi agamawan atau ilmuwan? Jadi sarjana Islam atau sarjana umum? Jadi ustad atau dosen?

Inilah penyebab rusaknya dunia, yaitu agama dijauhkan dari ranah ilmu pengetahuan dan kehidupan umum. Pendidikan agama saat ini di tiap sekolah hanya terlihat sebagai pendidikan yang wajib adanya namun tersampingkan. Padahal, mari kita lihat sebuah sejarah lama. Agama Islam pernah membangun peradaban gemilang dikarenakan mengambil Islam sebagai sistem hidup yang diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan termasuk pendidikan.

Maka dari itu, BilaAkuJadiMenag saya akan bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk mengoreksi sistem dan mutu pendidikan yang semakin jauh dari ilmu agama tersebut. Karena pada hakikatnya, agama identik dengan moralitas. Ia akan membentuk dan menciptakan karakter yang berkualitas dengan setiap kandungan nilai yang ia miliki.

Jikalau nilai agama setiap insan dapat terserap dengan baik, tanpa bersusah payah pun saya yakin Indonesia akan semakin gemilang. Ingatlah, Indonesia bukanlah negara liberal. Indonesia adalah negara yang membangun pondasinya bersama serta sejalan dengan keyakinan dan agama. Agar kelak, akan semakin bermunculan insan-insan agamis yang berkualitas untuk Indonesia yang lebih baik kedepannya. Asal kesungguhan dalam hati, saya percaya bahwa semesta pun perlahan akan merestui. Melawan hoaks, demi menjaga hati.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun