Mohon tunggu...
Kayla Jasmine Yasmara
Kayla Jasmine Yasmara Mohon Tunggu... Mahasiswa Ilmu Komunikasi Unesa

Hanya mahasiswa biasa yang terkadang gemar menonton film, kadang-kadang baca buku, kadang-kadang nyemil asinan mangga muda.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Generasi Z dalam Jebakan Paylater

29 Desember 2023   22:30 Diperbarui: 29 Desember 2023   22:44 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Generasi Z acap kali dibingkai sebagai pemilik era digital. Generasi yang melek teknologi dengan segudang kreativitas yang menjadikannya harapan bagi kemajuan suatu bangsa. Namun, yang luput dari perhatian kita semua adalah bagaimana generasi Z tak lebih dari sekadar sasaran empuk kapitalisme.  

Dugaan ini datang tatkala saya mencari dengan kata kunci "Gen Z pengguna Paylater" melalui search engine dan hasilnya tak sedikit artikel yang membahas soal dominasi kelompok muda tersebut sebagai penikmat jasa Paylater.

Menariknya, apa yang saya dapatkan melalui artikel-artikel tadi, ternyata sangat mudah untuk menemukan realitasnya di kehidupan sehari-hari. Saya mencoba ngobrol dengan beberapa teman pengguna Paylater.

Zahra (bukan nama sebenarnya), adalah mantan karyawan swasta di Surabaya.  Perempuan berusia 21 tahun ini mengaku kerap menggunakan Paylater untuk membeli bermacam barang seperti skincare, make up, baju, dan tas. Lingkungan dan apa yang dilihatnya di sosial media menjadi faktor penentu terbesar mengapa ia memprioritaskan membeli barang-barang yang menunjang penampilan wajah hingga fashionnya.

"Bunda, adik-adikku, sekarang udah modis banget, pintar make up. Ya, masa aku sendiri engga. Terus kalau lihat di Tiktok banyak juga konten tutorial atau produk skincare, make up yang lagi rame. Itu bikin aku penasaran pengen nyoba," katanya.

Paylater tak serta merta menawarkan kemudahan dalam mendapat dana segar secara instan. Ada konsekuensi yang harus ditanggung Zahra ketika dirinya melewatkan jatuh tempo tunggakan Paylaternya. 

Saat itu ia belum benar-benar paham terkait aturan sistem paylater, tetapi sudah nekat untuk mencoba. Kemampuan manajemen keuangan yang buruk semakin memperparah masalahnya.

"Kalo Paylater, semisal kamu kelewatan bayarnya (dari tanggal yang sudah ditentukan), itu kan ada denda. Nah, aku pernah sekali. Tak pikir, halah berapa sih dendanya, palingan juga kecil. Di situ aku baru tau, kalau dendanya ada berapa persennya gitu, aku lupa. Ternyata pas kena, wih lumayan juga, sekitar 25.000 atau 30.000an gitu," jelas Zahra.

Problem kebelet meng-check out barang ketika isi dompet sedang kosong nyatanya tak hanya dialami Zahra sebagai salah satu dari banyaknya anak muda yang tumbuh di kota besar seperti Surabaya. 

Cerita juga datang dari generasi Z di kota kecil di Jawa Timur. Gian (nama disamarkan) adalah kenalan dari salah seorang teman di kampus.  Kesibukan utamanya saat ini sebagai mahasiswa di sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Kediri.

Gian terhitung aktif melakukan membeli produk fashion secara online. Ia merasa perlu untuk memperhatikan bagaimana memadupadankan gaya berpakaiannya saat di kampus. Rapih dan bersih saja menurutnya tak cukup.

"Baju buat ke kampus ada, cuman biar kalau dipakai (ke kampus) nggak monoton, jadi masih perlu beli semisal ada model baru yang lagi tren."

Gian menyebut Jacquemus, salah satu brand pakaian mancanegara sebagai hal yang mempengaruhinya dalam menentukan selera outfit. Ia menyebutkan bagaimana banyak artis luar negeri ternama, seperti Jennie Blackpink atau SZA yang menjadi model dari produk pakaian tersebut.

Walau begitu, ketergantungan terhadap layanan Paylater membuat laki-laki 20 tahun itu mau tidak mau, harus membanting tulang sebagai ojek online demi melunasi 'hutangnya'. Meski terasa berat, ia tak punya banyak pilihan dengan keinginannya yang segunung, namun segan merengek soal uang kepada orang tua.

Paylater dan Media Sosial: Perpaduan Maut yang Merayu

Tak main-main konsekuensi yang harus dialami generasi Z sebagai generasi yang lahir dan tumbuh di era kemudahan akses teknologi. Muda-mudi yang termasuk dalam kategori Generasi Z adalah mereka yang lahir antara 1995--2014 (tirto.id).  Generasi Z digambarkan memiliki sifat Tech savvy yaitu adaptif dan piawai dalam mengoperasikan perangkat digital. Karakteristik inilah yang membuat generasi Z betah berlama-lama menghabiskan waktu berselancar di dunia maya.

Melansir dari goodstats.id, generasi Z yang mengakses media sosial dengan durasi satu hingga

dua jam per harinya ada sekitar 24 persen, serta 13 persen generasi Z hanya mengakses media sosial

30 menit hingga satu jam per harinya. Sementara itu, hanya satu persen generasi Z Indonesia yang

mengakses media sosial kurang dari 15 menit dalam sehari.

Sebelumnya, saya sempat berbincang dengan Bu Tsuroyya, salah satu dosen di kampus. Beliau berpandangan bahwa kebiasaan hidup bersama teknologi yang membuat generasi Z mudah terpapar dengan bujuk rayu iklan di media sosial. Hal ini berkaitan dengan data durasi generasi Z dalam mengakses media sosial sebelumnya.

"Kita tahu bahwa hampir semua media sosial sekarang ada yang namanya sponsor atau iklan. Mereka (korporat) memang membayar untuk itu. Ketika generasi Z frekuensinya lebih banyak menghabiskan waktu di media sosial, semakin banyak iklan yang mereka lihat, maka itu akan mempengaruhi proses berpikirnya," papar Bu Tsuroyya dalam perbincangan kami kala itu.

Apa yang disampaikan beliau membuat saya teringat dengan sebuah film dokumenter yang pernah saya tonton di sebuah platform streaming berjudul The Social Dilemma. Di dalam film tersebut ditunjukkan bagaimana petinggi-petinggi dari beberapa korporasi media sosial menyatakan bahwa keinginan seseorang terhadap sesuatu hal secara tidak sadar memang dikonstruksi dari media sosial.

Misalnya saja ketika seseorang memiliki hobi memancing. Kemudian ia berkeinginan untuk membeli peralatan pancing baru, ia memutuskan untuk melihat-lihat referensi model alat pancing yang diinginkannya melalui media sosial. 

Tanpa harus meng-check out dan hanya dari melihat-lihat saja, seketika algoritma di berbagai platform yang kita miliki di dalam gawai kita menampilkan satu hal spesifik yang telah kita cari tadi secara bersamaan. Ketika membuka Instagram, yang muncul konten memancing. Ketika membuka Shopee, di halaman awal sudah terpampang iklan alat pancing.

Rayuan iklan tersebut seolah memang ada dan didesain untuk memenuhi karakter generasi Z. Merujuk pada sebuah buku bertajuk "Rising Chlidren In Digital Era" oleh seorang psikolog bernama Elizabeth T. Santosa, disebutkan bahwa generasi Z memiliki ambisi yang besar dalam meraih sesuatu. 

Meski begitu, generasi Z dinilai cenderung memilih cara-cara yang instan untuk mendapatkan sesuatu. Jika coba kita tarik kembali pada layanan Paylater, bisa kita lihat bagaimana mudahnya mendaftarkan diri untuk menikmati layanan tersebut. Hanya bermodalkan foto KTP, seseorang dapat langsung bertransaksi melalui Paylater.

Inilah mengapa kita sebagai generasi Z perlu berhati-hati dan membekali diri sejak dini dengan skill memanajemen keuangan yang baik. Sebab media sosial dan Paylater merupakan perpaduan maut yang mampu merayu kita generasi Z dalam menentukan keputusan pembelian. 

Di samping itu, saya melihat generasi Z sebagai generasi yang rentan, sebab tak semua generasi Z memiliki pekerjaan dan sumber penghasilan yang pasti. Jika begini, bagaimana tidak mungkin generasi Z bisa terjebak dalam jerat hutang Paylater?

DAFTAR PUSTAKA

Adam, A. (2017). Selamat Tinggal Generasi Milenial, Selamat Datang Generasi Z. Retrieved from https://tirto.id/selamat-tinggal-generasi-milenial-selamat-datang-generasi-z-cnzX

Hasya, R. (2023). Melihat Rerata "Screen Time" Gen Z Indonesia dalam Bermedsos, Berapa Lama dalam Sehari?. Retrieved from https://goodstats.id/article/melihat-rerata-screen-time-gen-z[1]indonesiadalam-bermedsos-berapa-lama-dalam-sehari-f3kLL

Mardiansyah, D. (2023). Gen Z Dominasi Pengguna Paylater, Bagaimana Kemampuan Bayarnya?. Retrieved from https://keuangan.kontan.co.id/news/gen-z-dominasi-pengguna[1]paylaterbagaimana-kemampuan-bayarnya-1

Santosa, E. (2015). Raising Children in Digital Era. Jakarta. Elex Media Komputindo

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun