Dominasi wacana penetapan Sultan sebagai gubernur DIY telah menyingkirkan secara sepihak mereka yang sebenarnya pro-pemilihan. Bagaimana tidak? Mereka yang pro-penetapan (protap) lebih mengedepankan kekerasan secara verbal, psikologis, dan bahkan fisik kepada mereka yang berseberangan pendapat.
Kekerasan verbal diungkapkan dalam bentuk umpatan dan tuduhan bahwa yang menghendaki pro-pemilihan adalah para pengkhianat sejarah, bahkan juga “misuh-misuh”. Kekerasan psikologis dalam bentuk intimidasi dan ancaman pengusiran warga dari tanah milik Kraton. Kekerasan fisik disimbolkan dengan acungan ketapel dan bambu runcing bagi mereka yang berbeda pendapat.
Pantas saja yang pro-pemilihan menjadi laten, tidak pernah manifes seperti halnya gerakan orang-orang pro-penetapan itu. Gerakan pro-penetapan jelas-jelas berani kencang karena memang ada yang mendanai. Sementara mereka yang pro-pemilihan memang berangkat dari kesadaran, tanpa bayaran, betul-betul karena melihat Jogja di masa depan, bukan masa kini.
Tapi lambat laun, banyak yang dikecewakan dengan sikap Sultan dan Kraton yang tidak pernah jelas keberpihakannya kepada rakyat Jogja. Apalagi di setiap pilkada di DIY, Sultan dan keluarganya ikut “cawe-cawe” segala padahal rakyat menganggapnya sebagai pengayom seluruh elemen.
Pro-pemilihan memang diam, tapi bisa jadi mereka adalah the silent majority, mayoritas rakyat mendukung pemilihan gubernur, BUKAN PENETAPAN!