Mohon tunggu...
SukmadindaK
SukmadindaK Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Implikasi UU ITE bagi Kebebasan Berpendapat di Indonesia

21 Desember 2017   11:27 Diperbarui: 21 Desember 2017   12:35 5128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), sejak diundangkan dan disahkan pada tahun 2008, diketahui sudah beberapa kali memakan "korban" akibat dari adanya multitafsir. Menurut data dari SAFENet, sejak tahun 2008 hingga November 2015, ada 118 netizen yang menjadi korban UU ITE. Di tahun 2015 sendiri, lembaga ELSAM mencatat ada sekitar 47 korban yang terjerat UU ITE. Menariknya, menurut data Remotivi dalam rentang periode 28 Agustus 2008 hingga 23 Agustus 2016, dari total 126 laporan terkait UU ITE yang tercatat, 50 kasus di antaranya dilaporkan oleh mereka yang merupakan aparatur negara, seperti kepala daerah, anggota legislatif di tingkat daerah, hakim atau jaksa serta aparat penegak hukum.[1] UU ITE ini juga banyak digunakan oleh kalangan profesional dan pelaku bisnis. Alasan yang paling sering digunakan adalah penghinaan terhadap pejabat negara. Di samping itu, tuduhan lain seperti melakukan korupsi dan kekerasan juga menjadi alasan kuat mengapa mereka melakukan pelaporan. Laporan paling banyak ditujukan kepada aktivis LSM sehingga wartawan serta masyarakat awam. Dari data ini dapat diketahui bahwa penggunaan UU ITE banyak digunakan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan, baik yang memiliki jabatan, kekuatan politik ataupun pemilik modal.

Berdasarkan hal tersebut, beberapa organisasi masyarakat sipil mencoba mendesak pemerintah dan DPR untuk melakukan revisi terhadap UU ITE ini. Perubahan ini sekaligus untuk menjawab tantangan aktual dalam pemanfaatan teknologi internet saat ini. Dibutuhkan akselerasi hukum dan dukungan arsitektur lainnya, seperti sosial dan teknologi, untuk mampu menjawab berbagai kebutuhan dalam pemanfaatan internet. Hukum seharusnya mampu menjadi jembatan beragam arsitektur yang menopang pemanfaatan internet, sekaligus menjembatani transformasi tantangan dari yang semula sebatas offline (konvensional), menjadi online (dalam jaringan).

Upaya untuk merevisi UU ITE ini akhirnya dilakukan oleh pemerintah dan DPR dengan menyetujui perubahan terhadap sejumlah pasal dalam UU tersebut pada tanggal 27 Oktober 2016 lalu. Melalui pengesahan UU ITE hasil revisi, setidaknya ada tujuh poin penting perubahan yang menjadikan UU ITE yang baru berbeda dari sebelumnya. Pertama, melakukan perubahan dalam Pasal 27 ayat 3 bertujuan untuk menghindari multi tafsir terhadap ketentuan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, antara lain :[2]

 

Perubahan kedua yaitu menurunkan ancaman pidana pada dua ketentuan, antara lain adalah ancaman pidana penjara penghinaan dan/atau pencemaran nama baik paling lama enam tahun menjadi paling lama empat tahun dan/atau denda dari paling banyak satu milyar rupiah menjadi paling banyak tujuh ratus lima puluh juta rupiah. Ketentuan kedua yaitu ancaman pidana penjara pengiriman informasi elektronik berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti paling lama dua belas tahun menjadi paling lama empat tahun dan/atau denda dari paling banyak dua  milyar rupiah menjadi paling banyak tujuh ratus lima puluh juta rupiah.[3]

 

Perubahan ketiga yaitu menambahkan penjelasan mengenai informasi elektronik sebagai alat bukti hukum dalam Pasal 5 ayat 1 dan ayat 2. Perubahan keempat yaitu melakukan sinkronisasi hukum acara penggeledahan, penyitaan, penangkapan, dan penahanan yang diatur dalam Pasal 43 ayat 5 dan ayat 6 dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Perubahan kelima yaitu memperkuat peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang diatur dalam Pasal 43 ayat 5 UU ITE untuk memutus akses terkait tindak pidana teknologi informasi. Perubahan keenam yaitu menambahkan ketentuan right to be forgotten pada Pasal 26, yakni kewajiban menghapus konten yang tidak relevan bagi penyelenggara sistem elektronik berdasarkan penetapan pengadilan. Perubahan ketujuh yaitu memperkuat peran pemerintah untuk mencegah penyebarluasan konten negatif di internet yang diatur dalam Pasal 40. Berdasarkan ketentuan ini Pemerintah memiliki kewenangan memutus akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum.[4]

 

Namun sayangnya, hasil perubahan, yang mulai berlaku pada tanggal 28 November 2016 ini, jauh dari yang diharapkan masyarakat. Perubahan atau revisi UU tersebut bahkan hanya bersifat copy-paste tanpa menyentuh persoalan dan kebutuhan pokok dari suatu UU yang mengatur internet.

 

Revisi yang bersifat copy-paste tersebut nampak dari sejumlah materi, seperti misalnya :[5]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun