Mohon tunggu...
Ratno
Ratno Mohon Tunggu... Guru - Guru Indonesia

Kauman

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Misteri Kelelawar Yu Karti

8 Mei 2020   05:30 Diperbarui: 10 Mei 2020   09:39 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi kelelawar kecil. (sumber: pexels.com/@hitchhike)

"Ke mana orang ini, jangan-jangan nekat pergi ke ladang nanam jagung," suara Yu Karti ngedumel sendiri sambil ngulek lombok mau bikin sambal trasi.

Tanpa pikir panjang Yu Karti menyusul suaminya ke ladang dengan gaya ngedumelnya sepanjang jalan seperti orang kurang waras. Ladang yang terletek di pinggir sungai tidak jauh dari rumahnya. 

Sepanjang sungai dekat ladangnya dikelilinggi pohon pandan berduri yang terkesan angker. Pohon pandan biasanya oleh orang-orang kampung dibuat tikar untuk mengisi waktu senggang bila pekerjaan di sawah sedang vakum.

Sedangkan ladang sebelah selatan dan barat dipagari dengan berbagai pohon pepaya, pohon kelor, pohon nangka, pohon srikaya dan berbagai sayuran pagar seperti kecipir dan koro. Lengkap sudah bahan sayur dan buah untuk kebutuhan masak sehari-hari, tinggal petik secara bergantian

Di seberang utara sungai nampak segerombol pohon kepuh menjulang tinggi bertengger di bukit kecil. Pohon tersebut menjadi tempat yang nyaman untuk berlindung bagi ratusan kelelawar raksasa. 

Orang kampung lebih familier menyebutnya hewan kalong. Pohon kepuh menpunyai ciri khas daunnya jarang yang menjadi kesukaan kalong untuk tidur atau bercengkerama bergelantungan di siang hari, mungkin capek karena di malam hari keluyuran melalang buana mencari makan.

Yang lebih menarik lagi di bukit tersebut terdapat satu makam yang dinaungi gubuk kecil seukuran panjang makam tersebut. Kurang jelas bagaimana sejarah makam tersebut. Orang kampung menyebutnya cungkup keramat.

Mitosnya di cungkup keramat sebagai ekornya naga sedang bertapa dan kepalanya berada di sendang sebelah tenggara yang berjarak kira-kira dua kilometer. Sendang tersebut terletak masih satu kampung yang bernama kampung Ringin Anom.

Sendang Ringin Anom merupakan sumur kecil yang menjadi andalan sumber air sebagian warga kampung tersebut. Sama dengan cungkup keramat sendang tersebut juga menjadi habitat nyaman bagi kalong-kalong.

Dengan cekatan tangan Yu Karti menarik tangan Pak Tompo suaminya, merampas sisa benih jagung yang sedang ditanam.

"Kamu itu gimana to Pak Pak, apa telinggamu kemarin ngak denger ya? Dibilangin ndakik-ndakik kok ngak ngubris, capek aku," suara Yu Karti tersendat-sendat.

"Pak besok ngak usah nanam jagung dulu ya, kan hujannya baru tiga kali saja, tanah juga belum basah sampai dalam, saya kawatir kalau nanti terlanjur nanam, hujan berikutnya belum turun lagi. Eman nanti uang hanya dikit kita mementingkan beli benih jagung, nanti ngak tumbuh jagungnya, kita nunggu aja kalau hujannya sudah sering,"pinta Yu Karti dengan semangat kemaren sore waktu di rumah.

Tiba-tiba Yu Karti badanya kejang-kejang dan jatuh ke tanah. Dengan mata tertutup, gigi menggigit dengan bibir dibuka yang atas dan bawah, sehingga nampak dua giginya berwarna keemasan menghiasi mulutnya. Tetapi Pak Tompo nampak tidak begitu heran atau ketakutan melihat istrinya, seperti hal yang biasa terjadi.

Tak lama kemudian Yu Karti membuka matanya dan duduk terdiam lalu menangis, bukan pertanda Yu Karti sudah sadar, tetapi dia malah ngomel, menangis dengan mata berkedip-kedip dengan kecepatan tinggi.

"Kamu, kamu Tompo, mengapa hewan peliharaanku kamu bunuh dan kamu makan!"guman Yu Karti dengan mata berkedip-kedip.

"Itu lagi, itu lagi yang diucapkanya,"batin Tompo sambil komat-kamit mengucapkan do'a-do'a pengusir setan yang menempel pada tubuh Karti.

Selama ini Tompo merasa dipersalahkan terus oleh setan yang merasuki tubuh Karti. Tanpa sengaja tiga bulan yang lalu Tompo waktu berladang tiba-tiba ada seekor kalong yang jatuh berdarah-darah di ladangnya.

"Ya lumayan bisa untuk lauk seharian," guman Tompo sambil menguliti kalong yang ditembak pemburu tadi pagi.

Tompo memasak sendiri karena kebetulan Yu Karti istrinya pergi ke pasar. Sudah menjadi kebiasaan warga kampung menjadikan kalong sebagai hewan buruan. Selain dagingnya enak disantap, juga tulang pahanya dipergunakan untuk once (pipa penghisap rokok)

"Pak masak apa ini baunya kok gurih?" tanya Yu Karti setiba dari pasar. 

Tanpa sengaja Yu Karti sambil menaruh tas belanjaan di dapur melihat sosok kepala kalong yang masih belum dibuang oleh Tompo yang memang kepalanya sengaja tidak ikut dimasak.

Seketika itu Yu Karti kejang-kejang melihat kalong yang dibunuh oleh suaminya. Dan beberapa saat Yu Karti ngomel seperti orang kesurupan marahnya bukan main.

"Manusia apa kamu itu Tompo? kok ngragas (pemakan segala), binatang peliharaanku kamu bunuh dan kamu makan. Semua kalong di kampung ini adalah peliharaanku semua, tidak seorangpun boleh membunuh dan memakannya. Aku bersumpah serapah apabila ada ramainya jaman manusia akan dibunuh oleh kalong itu sendiri."

Memang tidak mudah memburu kalong, selain tempatnya yang menjulang tinggi, kebiasaan kalong apabila kena bandil (alat manual semacam ketapel) tetapi tidak pakai kayu dan karet pegas. 

Cukup pakai tali yang panjangnya satu bahu tangan dilempar salah satu talinya dilepas dan batunya akan melesat mengenahi sasaran atau menggunakan senapan angin, kalong tersebut ada beberapa kemungkinan langsung jatuh atau masih bisa terbang dan jatuh di tempat yang agak jauh atau kena tetapi sekarat di atas pohon dan mati masih dalam keadaan bergelantung dan tidak akan jatuh sampai membusuk pun.

Orang kampung tak ada yang punya senjata angin, berburunya sekedarnya hanya pakai bandil. Justru yang punya senjata api orang-orang jauh bermobil dan umumya bermata sipit. Kalau berburu bisa dapat puluhan kalong.

Ketika Yu Karti hatinya gundah atau sedang marah pasti tubuhnya kejang-kejang dan ngomel-ngomel melulu. Hampir pasti Tompo menjadi sasaran amarahnya. Lagi-lagi mengungkit-ungkit tentang pembunuhan kalong hewan peliharaannya.

"Kapan-lagi, kapan lagi sembuhnya?" gerutu Tompo setiap kali Karti kambuh kesurupan.

Orang-orang kampung sudah mengerti kebiasaan Yu Karti yang sering kesurupan. Terkadang ada orang yang usil memanfaatkannya untuk hal-hal yang kurang baik.

"Yu Karti coba kasih tahu aku, angka berapa besok yang keluar?" tanya Samingun tetangga Yu Karti yang memanfaatkan situasi tersebut.

"Eee..ternyata tebakan Yu Karti, joos," kasak-kusuk samingun disiarkan ke seluruh kampung.

Pak Tompo hanya bisa pasrah dan berdo'a tanpa putus asa. Sesekali dia berkonsultasi dengan kyai sepuh di kampung sebelah, menceritakan apa yang menimpa keluarganya.

Atas nasehat kyai sepuh tersebut, Pak Tompo rajin melakukan ibadah tanpa absen. Puasa Senin Kamis rutin dilaksanakan, yang sebelumnya tidak pernah dilakukan.

Berangsur-angsur kebiasaan Yu Karti yang sering kesurupan sudah jarang terjadi. Pak Tompo berusaha menjaga hati Yu Karti supaya tidak dibuatnya marah. Pak Tompo menyadari bahwa hidup itu harus bisa menjaga pola pikir yang stabil, pola pikir yang amanah sehingga tercipta suasana keluarga yang damai dan tenteram.

Kota Bayu, 8 Mei 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun