Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menyalahkan

6 Maret 2014   16:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:11 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Apakah selama hidup ini pilihan kita lebih banyak tidak menyalahkan atau menyalahkan orang lain dan keadaan atau situasi atas terjadinya sesuatu hal yang kita anggap tidak baik?

Misalnya dalam kemacetan dan tiba-tiba hujan, sedang kita tidak membawa jas hujan. Apa reaksi kita? Jengkel dan kesal sambil menyalahkan pemerintah dan hujan atau tersenyum sendiri menghadapi situasi ini?

Dalam hal ini, apabila pilihan kita rujukannya adalah obyek atau ego, maka kita akan sibuk menyalahkan orang lain, situasi, kondisi atau obyek di luar diri kita. Tetapi bila rujukan kita adalah diri sejati, maka kita akan menerima segalanya dalam ketawakalan. Menerima semua hal seperti adanya. Bebas protes.Ilhlas adanya.

Rujukan pada Obyek

Bila pilihan hidup kita yang menjadi rujukan adalah ego, maka kita akan dengan mudah menyalahkan segala hal yang terjadi. Yang tidak sesuai keinginan kita pokoknya salah.

Orangtua merasa berhak menyalahkan anak. Begitu juga atasan akan dengan mudah menyalahkan bawahannya. Terlepas benar-benar salah atau tidak. Malahan pilihan menyalahkan tak jarang sebagai cara untuk menutupi kesalahan sendiri.

Saya bisa menulis begini karena pernah jadi atasan dan sekarang menjadi orangtua. Menyalahkan dipilih sebab harganya murah meriah, sehingga gampang diumbar.

Bila rujukan kita adalah ego, bahkan tak segan kita menyalahkan obyek-obyek seperti jalanan, batu, angin dan hujan atau komputer dan HP kita.

Ketika kita tersandung sebuah batu, spontan kita marah dan ingin menendang batu tersebut atau membuangnya jauh-jauh sebagai pelepasan amarah.Pernah mengalami soalnya.

Saat kita tidak hati-hati mengendarai sepeda motor dan menghantam lubang, emosi langsung muncul. Umpatan langsung meluncur. Kesal, mau marah sama lubangnya. Tapi...?

Bahkan tetesan-tetesan air yang sudah waktunya harus turun ke bumi, bisa menjadi pelampiasan kekesalan kita. alih-alih bersyukur. Kita malah menyalahkan hujan, karena membuat perjalanan kita menjadi tidak nyaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun