"Sesungguhnya, puasa bukanlah sekadar tidak makan dan minum selama sebulan penuh, tetapi merujuk perilaku manusia "muttagin", yakni nilai keutamaan manusia, seperti tidak tamak, toleran, sabar, dan lain-lain. Dengan kata lain, puasa adalah SEBUAH PERLAWANAN TERHADAP HASRAT-HASRAT KONSUMENRISME."
Demikian Garin Nugroho _seorang seniman kenamaan_ dalam rubrik "Udar-Rasa" di Kompas cetak Minggu (22/7) menulis.
Kata "sebuah perlawanan terhadap hasrat-hasrat konsumenrisme" sengaja ditebalkan. Karena itulah inti salah satu tujuan berpuasa yang seakan menjadi pengabaian.
Bukti dilapangan membuktikan dari tahun ke tahun. Dari menjelang puasa sampai lebaran sifat konsumenrisme masyarakat justru meningkat.
Nilai uang yang berputar selama bulan puasa diperkirakan mencapai 60 triliunan. Luar biasa.
Tak heran. Omset pegadaian meningkat antara 20-30 persen. Banyak masyarakat yang menggadaikan logam mulia untuk memenuhi kebutuhan selama bulan puasa.
Arus pengiriman uang dari para TKI pun ikut meningkat untuk membantu kebutuhan keluarga di kampung.
Bukan hal yang aneh lagi di bulan puasa transaksi-transaksi kebutuhan pokok meningkat tajam. Seakan-akan ada asumsi bahwa selama bulan puasa wajib makan enak.
Padahal para ustad atau ulama tiada henti berseru sampai tenggorokan kering, agar hidup sederhana dan menghindari konsumenrisme.
Tetapi umat cuek-cuek bebek dan membatin,"Emang gue pikirin? Ini beli juga pakai uang sendiri. Emang masalah bagi kamu?"
Memang ironis keadaan ini. Pada saat dimana keadaan seharusnya melatih diri dan melawan keinginan terhadap konsumenrisme. Yang terjadi justru konsumenrisme merajalela di masyarakat.