Saking kesalnya kita akan bilang, "Lain kali akan saya rekam biar ada buktinya."
Apalagi yang berbicara itu adalah yang punya kedudukan. Ketika terjadi kesalahan yang dibawah selalu yang jadi kambing hitam. Tentu ini menyebabkan ada rasa yang terpendam. Bisa sakit hati.Â
Sebaliknya bila ada bawahan yang berani membantah akan terjadi adu omongan. Hal  ini tentu akan  menimbulkan suasana kerja yang tidak nyaman.Â
Akibat hal ini, di tempat kerja saya yang dahulu sampai diberlakukan aturan bila bos atau atasan mau pesan apapun harus tertulis sebagai bukti.Â
Karena sering terjadi hal seperti ini yang membuang waktu dan energi. Apalagi yang bicara masing-masing menggunakan keakuan sebagai tuan. Ribut bisa. Masing-masing mempertahankan kebenaran versinya.Â
Berbeda bila ada kerendahan hati yang menguasai. Sejenak merenungkan dan menerima bahwa mungkin ada terjadi kesalahan dari diri sendiri ketika bicara atau mendengar.
Dalam seminar tentang Narkoba ada teman sebagai pembawa acara. Saat pembukaan ia sering mengucapkan kata "Nakorba".Â
Bukankah seharusnya Narkoba? Namun saya berpikir lagi, jangan-jangan ini istilah baru yang saya belum tahu sehingga tidak berani menyalahkan ucapannya. Hanya bertanya-tanya dalam hati sambil mencari referensi.Â
Karena sebagai pembawa acara dan orang pintar saya pikir ia pasti lebih banyak tahu dan sudah mempersiapkan diri dengan baik.Â
Ketika ia turun dari panggung saya yang penasaran bertanya, "Sebenarnya yang benar itu Narkoba atau Nakorba sih?"Â
Ia sedikit keheranan dengan pertanyaan saya. Kenapa tiba-tiba saya bertanya seperti itu?