Mohon tunggu...
Katedrarajawen
Katedrarajawen Mohon Tunggu... Penulis - Anak Kehidupan

Merindukan Pencerahan Hidup Melalui Dalam Keheningan Menulis. ________________________ Saat berkarya, kau adalah seruling yang melalui hatinya bisikan waktu terjelma menjadi musik ... dan berkarya dengan cinta kasih: apakah itu? Itu adalah menenun kain dengan benang yang berasal dari hatimu, bahkan seperti buah hatimu yang akan memakai kain itu [Kahlil Gibran, Sang Nabi]

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Waktu Lapar, Makan

28 Desember 2020   11:51 Diperbarui: 28 Desember 2020   21:21 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: postwrap/katedrarajawen

Katedrarajawen  _Murid bertanya, "Apakah itu kebenaran, Guru?" 

"Waktu lapar, makan. Waktu lelah, tidur, Muridku." 

Sesederhana itu jawaban sang guru. Membuat murid menjadi ragu. Hanya begini ilmu sang guru. Karena kebenaran ini semua orang juga tahu. 

Terlalu banyak yang ingin manusia tahu, sampai apa yang harus dilakukan jadi tidak tahu. 

Ketika makan rasa makanan pun tidak lagi tahu. Pikiran lebih sibuk mencari apa yang seharus ia tidak perlu tahu waktu itu. 

Saat di tempat tidur dalam lelah pun masih sibuk dengan segala sesuatu. Tak bisa tidur oleh pikiran buntu. Terlalu banyak ingin tahu hingga lupa apa yang semestinya dilakukan saat itu. 

Berulang kali terjadi dari waktu ke waktu. Kebenaran sederhana pun tidak bisa dilakukan, jadi sekadar tahu. Hidup tidak bertumbuh tidak merasa malu walau dengan segudang ilmu. 

Karena tidak memahami kebenaran sederhana ini, manusia takbisa merasakan nikmatnya makanan sampai menyentuh jiwa. Yang ada hanya jadi bahan bicara. Membuat kenyang perut saja. 

Sama halnya takmampu lagi bisa menikmati tidur nyenyak sehingga saat terbangun dengan lelahnya. Terlalu banyak yang menjadi beban di kepala. Melepaskannya tak kuasa. Ranjang hanya jadi tempat meletakkan raga. 

Apakah manusia baru akan memahami kebenaran ini manakala kelaparan melanda sehingga sebutir nasi pun bagai permata? 

Apakah baru akan merasakan ranjang itu bagai permadani surga ketika berada di pengungsian akibat bencana? 

Apakah baru akan merasakan satu tarikan napas itu sedemikian berharga saat di ujung hidupnya? 

@refleksihati 28 Desember 2020 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun