Hati itu diilustrasikan berbagai macam warnanya. Sebagai pelambang.
Ada warna biru, melambangkan hati itu damai dan tenang. Sebab itu ada syair lagu yang berbunyi: birunya hatiku.
Ada lagi yang mengatakan, hati itu putih seputih kapas. Seputih salju. Seputih melati. Putih bersih sebagai lambang kesucian. Mewakili kebaikan.
Yang paling banyak ditemukan, hati berwarna pink. Merah muda. Itu melambangkan bahwa hati adalah penuh cinta.
Aku duduk membayangkan di bawa pohon cherry di kala senja. Macam apakah warna hatiku.
Berwarna biru yang penuh damaikah? Tak kutemukan!
Apakah seputih melati berisi kebaikan nan suci? Kurasa-rasa, tak ada juga!
Kuteleti, mungkinkah berwarna pink karena penuh cinta? Kurenungkan, sepertinya jauh dari cinta.
Aku tercekat. Sebab yang kutemukan, kini warna hatiku adalah PEKAT. Keruh tak jelas warnanya.
Tak ada damai, kebaikan, dan cinta kasih lagi. Bukan sekadar abu-abu. Tapi sudah PEKAT.
Itulah sebabnya hidupku berubah jadi bejat. Tak tahu adat dan moralitas. Hati kalut dan awut-awutan.
Akibat hatiku berwarna PEKAT. Tidak dapat melihat jelas. Tak bisa membedakan salah dan benar.
Jauh dari kebenaran. Mengedepankan pembenaran. Dosa menjadi tertawaan. Bicara ajaran agama sudah dianggap kuno. Kemaksiatan menjadi kiblat kehidupan. Kebohongan sudah tak ubahnya santapan.
PEKAT oh PEKAT hatiku. Masihkah ada kunci kesadaran untuk membuka pintu pertobatan? Atau semakin tersesat dalam kebejatan?
Sebiji buah cherry ranum menimpa persis di atas kepalaku. Menyadarkan ternyata di sekitarku pemandangannya sudah PEKAT. Saatnya menyalakan lampu.