Mohon tunggu...
Shinta Galuh
Shinta Galuh Mohon Tunggu... -

Seorang Muslimah, menikmati pekerjaan barunya sebagai dosen ilmu komunikasi, pecinta buku, suka sejarah, psikologi populer, dunia parenting, fashion dan buah-buahan. \r\n\r\nBerdoa untuk suatu hari, saat saya menjadi seorang ibu, bunda, ummi, apapun namanya, dari anak-anak saya. ^__^

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

tayangan yang 'children friendly', pelajaran dari upin dan ipin

24 Desember 2009   14:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:47 805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sekali-sekali kita perlu melihat juga kebaikan negara tetangga kita, Malaysia. Bukan untuk balas mencontek, tentunya. Akan tetapi melihat sisi baik dari sebuah serial kartun Malaysia yang sangat populer di Indonesia. Yap, betul sekali, Upin dan Ipin.

Upin dan Ipin sudah menjadi serial yang ditunggu-tunggu kehadirannya di rumah saya. Kami sangat menyukai Upin dan Ipin. Papa dan Mama sesekali menonton karena nostalgia dengan bahasa melayu. Mengingat kembali kosakata yang sudah jarang digunakan (maklumlah, keduanya berasal dari Riau). Saya, suami dan adik saya nyaris tidak pernah absen. Jika kami tertinggal versi Melayunya di salah satu stasiun TV swasta, maka kami menonton versi Inggrisnya di Disney Channel.

Tayangan yang menyasar pada audiens anak-anak memang banyak bemunculan. Sebutlah 'Baim Anak Sholeh', 'Ronaldowati', atau 'Si Entong'. Menurut saya semua tayangan tersebut memang menggunakan tokoh dan latar kehidupan anak-anak,  tapi tidak cukup children friendly.

Children friendly di sini hanyalah istilah saya untuk menggambarkan sebuah tayangan yang memberikan nilai-nilai positif bagi anak-anak; bukan hanya 'tong kosong nyaring bunyinya' seperti sinetron-sinetron yang saya sebutkan di atas.

Katanya sih untuk anak-anak, tapi kenapa eh kenapa kok ada adegan orang dewasa yang lagi 'nge-date' dan beradegan mesra atau berkata-kata yang kurang sopan? Mana sisi edukasinya?

Sungguh berbeda dengan Upin dan Ipin. Hampir di setiap serinya selalu disisipkan nilai-nilai kehidupan yang positif, tanpa mengurangi 'kebadungan' Upin dan Ipin sebagai kanak-kanak. Misalnya saja saat Upin mengaku melihat tuyol di malam hari yang ternyata adalah Ipin yang sleepwalking sekaligus eat-walking. Sang Opah memberi penjelasan bahwa tidak ada hantu-hantu seperti yang mereka takutkan.

Bertolak belakang dengan serial 'si Entong' yang justru menjual ke'ghaib'an Entong yang mendapat kekuatan ajaib entah datang dari mana. Selain bisa merusak iman, menurut saya hal-hal 'ghaib' itu juga sangat merusak logika berpikir anak.

Harus sangat disadari bahwa anak-anak memiliki kemampuan imitasi yang tinggi. Ditambahfakta,  menurut data YPMA, rata-rata anak Indonesia menonton TV sekitar 30-35 jam seminggu. Berarti dalam sehari, anak-anak menonton lebih dari empat jam. Jika  ditarik kesimpulan lebih jauh lagi, maka anak-anak Indonesia dapat dikategorikan sebagai heavy viewers.

Disinilah berlaku yang dalam ilmu komunikasi disebut dengan teori kultivasi. Teori ini memiliki asumsi bahwa audiens memandang realita kehidupan sebagaimana apa yang ada di televisi. Jadi, audiens dalam teori ini memfungsikan televisi bukan lagi sebagai jendela atau cermin realita, melainkan realita itu sendiri.

Tentu, bagi orang dewasa yang berpendidikan cukup, dan jarang menonton TV, teori ini tidak berlaku. Akan tetapi, bagi anak-anak yang belum memiliki ketetapan berpikir sendiri, menurut saya, teori ini sangat berlaku. Dampaknya adalah, apa yang ditanamkan dalam pikiran anak-anak sesungguhnya adalah pesan-pesan televisi.

Oleh karena itu, bahaya sekali tayangan-tayangan anak yang menyajikan adegan yang tidak logis seperti 'Si Entong' atau 'Ronaldowati'. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun