Mohon tunggu...
Reza Fahlevi
Reza Fahlevi Mohon Tunggu... Jurnalis - Direktur Eksekutif The Jakarta Institute

"Bebek Berjalan Berbondong-bondong, Elang Terbang Sendirian"

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Mengawal Pilkada dari Racun Demokrasi Politik Uang

27 Oktober 2020   15:18 Diperbarui: 27 Oktober 2020   15:48 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Bawaslu Sulsel

Dari berbagai fakta diatas semakin mengukuhkan bahwa politik di Indonesia adalah politik transaksional. Tentu ini tidak boleh dibiarkan, karena lama kelamaan akan membuat turunnya kualitas demokrasi Indonesia, semakin jauh dari demokrasi substansial dan hanya berkutat pada demokrasi prosedural. 

Singkat kata, praktik politik uang membuat demokrasi menjelma menjadi demokrasi investor atau cukong.

Lalu, bagaimana cara mengatasi politik uang? Pertama, menelusuri pendanaan. Selama ini para kandidat hanya diminta untuk melaporkan kekayaan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui program Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) sebagai syarat pencalonan serta pelaporan dana kampanye kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). 

Tidak ada penelusuran atas kekayaan dan dana kampanye yang digunakan. Jadi, sudah saatnya penyelenggara pemilu melakukan kerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi keuangan (PPATK) untuk menelusuri pendanaan para calon kepala daerah yang mengikuti pilkada.

Kedua, perbaiki parpol. Bahwa yang menyebabkan maraknya politik uang ditingkat pemilih disebabkan oleh minimnya kedekatan pemilih dengan parpol yang tidak ada diferensiasi dan posisi ideologis. 

Para elit parpol tidak bisa menyalahkan pragmatisme pemilih yang sampai saat ini masih dikambing hitamkan oleh para elit. Sedangkan, pemilih memandang kinerja parpol semakin memburuk apalagi semakin terkuaknya kasus-kasus korupsi yang melibatkan para elit partai. Maka, tidak ada jalan keluar bagi parpol selain berbenah diri.

Ketiga, pemahaman para pemilih. Akibat praktik politik uang yang sudah mendarah daging, akhirnya membuat para pemilih bahwa momen pemilihan umum adalah momen bagi-bagi sesuatu yang manfaatnya dirasakan secara langsung yakni bisa berbentuk uang atau barang. 

Pemilih tidak memikirkan dampak buruk jangka panjangnya yang apabila pemilih menerima pemberian para kandidat maka harus siap dengan konsekuensi yang akan diterimanya, misalnya berupa kebijakan yang tidak berpihak pada dirinya.

Keempat, moral agama. Sepertinya masyarakat sudah tebiasa dengan dalil-dalil agama bahwa menerima uang haram (politik uang) adalah perilaku tercela. Tetapi, dalil-dalil itu hanya sebatas dalil yang sekedar diucapkan dari mulut atau maksimal hanya keluar dari kerongkongan tidak keluar dari hati. 

Maka, sudah seharusnya para penyeru kalam Tuhan (tokoh agama) tidak hanya sekedar menyeru tetapi juga memberikan contoh yang baik. 

Bahkan dalam beberapa kasus, seorang Kiyai membolehkan praktik politik uang karena masifnya praktik tersebut sehingga atas nama keadilan dihalakanlah praktik jual beli suara untuk mencapai permainan yang merata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun