Tidak ada checks and balances sehingga memungkinkan terjadinya abuse of power.
Ibnu Khaldun (1332-1406) menyebut politik dinasti sebagai ashabiyah.Â
Bagi Khaldun, ashabiyah tumbuh dan tercipta secara alamiah. Namun, jika tetap dibiarkan, ashabiyah atau politik dinasti berbahaya karena mampu menghancurkan negara. Sikap koruptif yang beririsan dengan politik dinasti adalah contohnya.
Sulitnya membendung politik dinasti karena sikap pragmatis partai politik, maka jalan keluar yang paling efektif ialah memaksimalkan peran pemilih (voter).Â
Pada titik ini, pemilih harus selektif dengan melihat jejak rekam para calon dan keluarga yang mempunyai hubungan dengan calon.
Jika calon yang berasal dari dinasti politik mempunyai jejak rekam hitam atau terlibat kasus korupsi, sudah seharusnya masyarakat tidak memilihnya.Â
Inilah sebenarnya yang disebut sebagai etika politik. Sistem politik yang memprioritaskan genetika dan kekeluargaan, bagaimanapun, telah menyejarah sejak lama, sejak masa-masa kerajaan sebelum Indonesia.Â
Jejak historis itu hingga kini masih sangat terasa survivenya dalam dinamika politik kita. Apalagi, hal tersebut juga tidak melanggar konstitusi dan legal.
Justru, yang paling penting adalah bagaimana kita mendahulukan etika politik dalam kultur demokrasi.Â
Terlebih, bagaimana sistem pemilu kita hari ini juga mampu memunculkan calon alternatif yang bisa dipilih langsung oleh masyarakat berdasarkan pada program dan visi, bukan keturunan dan kroni.Â
Langkah ini bukan sekadar menyehatkan demokrasi, melainkan menyelamatkan kepentingan publik yang lebih luas.Â
Karena pada prinsipnya, semua waga negara di Indonesia berhak dipilih dan memilih; semua pihak bebas bertarung dalam kontestasi elektoral dimanapun wilayah administrasinya.