Mohon tunggu...
Poo Poo Pee
Poo Poo Pee Mohon Tunggu... Administrasi - Opini Pribadi Penulis

Tulisan di sini adalah bentuk tuangan opini pribadi Penulis. Mari budayakan kritik dan saran yang membangun, bukan mengintimidasi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kebijakan PPnBM dan Perekonomian yang Lesu

29 Juni 2015   00:16 Diperbarui: 29 Juni 2015   00:16 593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kebijakan fiskal diskrit merupakan kebijakan fiskal yang bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah perekonomian yang sedang dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat, sehingga tetap tercapainya tingkat pertumbuhan ekonomi pada tingkat yang diharapkan. Kapan dilakukannya kebijakan ini ialah ketika pemerintah ingin mengekspansi atau mengontraksi pertumbuhan ekonominya. Pemerintah kali ini ingin mengekspansi pertumbuhan ekonomi, salah satu caranya dengan mengeluarkan beberapa barang mewah dari objek PPh 22. Ini artinya, yang dulunya dikenakan PPh 22 karena berlabel mewah kini sudah tidak lagi dikenakan PPh 22 karena label itu sudah dicabut. Hal ini, tentunya akan mengurangi penerimaan pemerintah yang diestimasi Rp 400 miliar per tahun. Namun, Pemerintah juga memiliki aturan cadangan untuk menutupi kekurangan ini, yaitu dengan mengeluarkan Perdirjen Nomor 19/PJ/2015 yang berisi tentang batasan baru objek pajak properti dan kendaraan bermotor yang lebih rendah untuk menggali potensi pendapatan di sektor menengah. Di satu sisi ingin masyarakat luas bisa merasakan membeli Gucci dan Alienware, di sisi yang lain Pemerintah secara tidak langsung menurunkan minat investor di bidang properti dan industri kendaraan mewah. Mengambil dari yang kaya untuk dibagikan ke yang miskin.

Kontroversi Perdirjen

Akhir April ini Pemerintah diam-diam telah mengeluarkan peraturan perpajakan baru yang diharapkan akan menambah penerimaan negara. Peraturan terbaru ini adalah Perdirjen Nomor 19/PJ/2015 tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah. Peraturan ini memperjelas PMK Nomor 253/PMK.03/2015 yang menggantikan PMK Nomor 90/PMK.03/2015 tentang Wajib Pajak Badan Tertentu Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pembeli atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah. Di dalam peraturan baru ini disebutkan akan ada batasan baru dalam pengenaan pajak properti dan kendaraan bermotor yang tergolong barang mewah. Perluasan objek pajak ini diharapkan akan menutupi kekurangan pendapatan pajak dari penyempitan objek barang mewah seperti gadget dan sebagainya.

Dalam Perdirjen baru ini terdapat 2 (dua) pasal yang menjadi sorotan publik, yaitu Pasal 1 dan Pasal 2. Di dalam Pasal 1 disebutkan bahwa untuk properti akan ada penetapan batas (treshold) baru yang menggantikan batasan sebelumnya. Batasan baru ini menuai banyak pro dan kontra dari pihak kontraktor dan juga internal pemerintah. Pihak yang kontra menyayangkan penerapan peraturan baru ini akan mengurangi laba mereka karena meningkatkan harga jual untuk properti kelas menengah. Kemudian di Pasal 2 disebutkan bahwa dalam harga jual Rp 5 miliar itu sudah termasuk PPN dan PPnBM. Tarif PPN adalah 10% dan untuk PPnBM 20%, itu artinya Rp 5 miliar itu 130% dari harga pasar properti. Ini berarti harga properti sendiri kurang dari Rp 5 miliar, dan bisa menjadi alasan fiskus untuk menarik PPnBM atasnya.

Perekonomian yang Bergoyang

Batasan baru dalam Perdirjen itu lebih rendah dari rencana sebelumnya Rp 10 miliar. Selain penurunan dari segi harga jual, peraturan yang baru juga menerapkan batasan luas bangunan. Untuk rumah dengan luas lebih dari 400 m2 dan apartemen atau kondominium atau sejenis dengan luas lebih dari 150 m2 sudah bisa dikatakan barang mewah dan wajib dikenai PPnBM sesuai Perdirjen 19/PJ/2015 yang baru itu. Standar ini lebih rendah dari rancangan sebelumnya yaitu 400 m2 untuk apartemen atau kondominium dan 500 m2 untuk rumah. Penurunan batasan ini tentunya akan berimbas pada pasar properti dalam negeri. Pasalnya pasar yang paling laku adalah di jajaran properti seharga Rp 2 miliar – Rp 3 miliar sebelum pengenaan PPN dan PPnBM. Hal ini akan mendorong produsen properti untuk meningkatkan penjualan properti pada harga batasan di bawahnya yang tentunya akan berimbas pada fasilitas pada properti, ini akan berpengaruh pada kenyamanan penghuni. Semakin mahalnya harga properti dalam negeri dikhawatirkan akan mengurangi jumlah pembeli baik dari mancanegara maupun dalam negeri yang ingin merasakan properti di wilayah Indonesia.

Dikutip dari Kontan, pihak Real Estate Indonesia dan Pemerintah sebelumnya sempat mengalami pembahasan panjang mengenai dasar pengenaan pajak properti. Pasalnya jika didasarkan pada harga jual maka hal ini akan dinilai tidak adil mengingat harga properti di tiap daerah tidaklah sama. REI berargumen bahwa batasan dengan luas bangunan adalah yang paling tepat dan tidak bias lantaran tidak semua tempat mempunyai harga acuan yang sama. Kesulitan di lapangan akan menjadi kendala DJP dalam upaya pemungutan PPh Pasal 22 ini. Bahkan peraturan ini justru akan berdampak pada industri lainnya, tutur Direktur Pemasaran MKPI Herman Widjaja. Jika transaksi properti menurun maka pengembang enggan atau tidak akan membangun proyek-proyek baru sehingga industri yang menyertai industri proyek tidak akan bergerak. Namun, menurut Herman pihaknya masih terbantu dengan adanya pendapatan perulang (recurring income) yang mencapai 90% dari seluruh pendapatan perseroan. Recurring income tersebut berasal dari penyewaan apartemen, mal, dan menara perkantoran. Jadi, untuk perusahaan yang sudah besar dan memiliki recurring income yang tinggi tentunya penerapan PPnBM ini cukup memberi dampak walaupun masih memiliki cadangan pendapatan. Sedangkan untuk perusahaan yang kecil PPnBM ini tentunya akan sangat mempengaruhi kelangsungan hidup perusahaan.

Tidak hanya properti, kendaraan bermotor roda dua atau roda tiga dengan harga jual lebih dari Rp 300 juta atau dengan kapasitas silinder lebih dari 250 cc juga merupakan objek pajak sesuai peraturan baru ini. Agen tunggal pemegang merek (ATPM) motor berkapasitas mesin besar mengaku sudah setahun terakhir ini terpukul oleh perluasan objek pajak penjualan atas barang mewah. Dikutip dari CNN Indonesia, ATPM Harley Davidson, PT Mabua Motor Indonesia, mengaku telah merugi 50 persen pada tahun lalu akibat kebijakan Kementerian Keuangan baru itu. Menurut penuturan Djonnie Rahmat selaku Dirut PT Mabua Motor Indonesia penjualan mereka turun drastis karena motor gede dengan kapasitas 490 cc dikenai PPnBM 60% dan 125 persen untuk moge berkapasitas 500 cc. Menurut Djonnie harga motor Harley Davidson di Indonesia merupakan harga yang paling mahal di dunia karena total pajak yang harus dibayarkan oleh ATPM dan pembeli mencapai 215 persen dari harga riilnya. Sebagai informasi, pada akhir 2014 kemarin Harley Davidson menutup pabrik perakitannya di Pulo Gadung, Jakarta Timur dikarenakan tingginya biaya operasional. Kerugian ini dikhawatirkan akan mengurangi investasi beberapa perusahaan barang mewah di Indonesia.

Setiap Kebijakan, Selalu Ada Sisi Baik dan Negatif

Meskipun Pemerintah ingin menggairahkan perekonomian Indonesia dengan meningkatkan konsumsi barang di beberapa bidang, namun akan ada kompensasi di bidang lain dengan perluasan objek pajak. Hal ini sangat berdampak signifikan mengingat rupiah sering melemah di satu tahun terakhir ini. Investasi sendiri diharapkan mampu mendorong produk domestik bruto untuk mendorong program Presiden yang ingin memajukan Indonesia. Semoga Pemerintah segera memberikan solusi yang lebih strategis dan tepat sasaran.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun