Mohon tunggu...
Kastrat IMS FTUI
Kastrat IMS FTUI Mohon Tunggu... Mahasiswa - #PRAKARSA

Pagi Sipil! Kastrat IMS FTUI kini hadir di Kompasiana untuk membagikan beberapa tulisan yang kami hasilkan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tindakan Represif Aparat, Solusi Saat Demonstrasi?

28 April 2021   19:50 Diperbarui: 28 April 2021   19:50 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Oleh : Aikon Mada Arrafi

Sejak berakhirnya masa orde baru, Indonesia memasuki era reformasi yang ditandai dengan adanya keterbukaan serta kebebasan dalam berbagai aspek kehidupan. Sekarang ini, masyarakat Indonesia dapat merasakan kebebasan dalam menyampaikan pendapat tanpa diiringi rasa takut. 

Kehidupan berdemokrasi Indonesia semakin berkembang sehingga masyarakat menjadi lebih berani dan terbuka dalam menyampaikan aspirasi di depan umum. Bentuk penyampaian pendapat di muka umum semakin mendapat tempat dan makin sering terjadi, mulai dari demo menuntut kenaikan gaji sampai demo menuntut turunnya presiden. 

Menurut undang-undang Nomor 9 Tahun 1998, unjuk rasa atau demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum. 

Tumbangnya rezim Soeharto di 1998 menandakan kebangkitan berdemokrasi di Indonesia. Gelombang demonstrasi yang dilakukan berbagai elemen masyarakat berhasil melengserkan Soeharto dari tampuk kekuasaannya. 23 tahun setelah lengsernya Soeharto, demonstrasi selalu menjadi sebuah gerakan terdepan oleh masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya. 

Demonstrasi menjadi penting karena terkadang penyampaian aspirasi masyarakat melalui parlemen tidak bisa berjalan secara efektif. Bagaimana bisa suara dari 270 juta masyarakat Indonesia diwakilkan oleh beberapa orang yang duduk di pemerintahan? Pastinya, ada sekelompok masyarakat yang suaranya tidak terwakilkan. 

Maka dari itu, demonstrasi menjadi wadah untuk menyampaikan pendapat tersebut. Namun, penyampaian aspirasi ini tidak selalu berjalan dengan mulus, dan sering kali, demonstrasi berujung kepada kericuhan 

Dalam demonstrasi tersebut, kepolisian hadir dan memiliki kewenangan untuk menjaga demonstrasi tersebut agar berjalan lancar, tertib, dan aman. Namun, dari sinilah juga terkadang kepolisian mengalami excess of power atau abuse of power. 

Kepolisian sering menjustifikasi tindakannya dalam menangani orang yang mengikuti demonstrasi dengan kasar dengan alasan bahwa ia merupakan penegak hukum dan hanya melaksanakan perintah jabatan. 

Dalam pasal 51 ayat (1) KUHP dijelaskan bahwa barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana. hal ini yang sering dijadikan justifikasi oleh kepolisian untuk berbuat semena-mena kepada demonstran. 

Memang ada beberapa demonstran yang rusuh seperti melempar batu atau berdorong-dorongan. Akan tetapi, reaksi polisi yang membalas demonstran dengan penembakan peluru karet atau gas air mata tidak berimbang dengan apa yang diberikan oleh demonstran. Hal ini tentu saja merupakan sebuah noodweer excess atau pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Hal ini tercantum di Pasal 49 ayat (2) KUHP.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun