Mohon tunggu...
Kastrat IMS FTUI
Kastrat IMS FTUI Mohon Tunggu... Mahasiswa - #PRAKARSA

Pagi Sipil! Kastrat IMS FTUI kini hadir di Kompasiana untuk membagikan beberapa tulisan yang kami hasilkan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kebebasan Menganut Ajaran/Aliran Kepercayaan Masih Diperlakukan Tidak Adil di Indonesia

28 April 2021   18:30 Diperbarui: 28 April 2021   18:32 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh : Rafif Anandia

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau sebanyak 17.508 dan terdapat 360 suku. Keberagaman tersebut membuat Indonesia memiliki kebudayaan yang sangat banyak di setiap daerahnya, mulai dari bahasa, tradisi, hingga agama atau kepercayaan. Jumlah kepercayaan lokal di Indonesia menurut Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) yaitu sebanyak 187 organisasi penghayat kepercayaan dan sekitar 12 juta pengikut dari penghayat kepercayaan. 

Kepercayaan lokal tersebut hingga saat ini berada di tiga belas provinsi di Indonesia dan  tersebar dari Pulau Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Dari banyaknya kepercayaan tersebut, ada kepercayaan yang sudah berkembang di masyarakat sebelum masuknya enam agama yang diakui di Indonesia (Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, Konghucu), yaitu kepercayaan Sunda Wiwitan, Kejawen, dan Kaharingan. 

Meski kepercayaan-kepercayaan tersebut sudah tua di Indonesia, tapi bagi mereka yang menganut kepercayaan tersebut nyatanya sudah mengalami diskriminasi selama berpuluh-puluh tahun. Pada tahun 1974, dikeluarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri Tahun 1974 yang berisikan kolom agama pada KTP wajib untuk diisi dengan pilihan agama Islam, Kristen, Katolik, Kristen, Hindu, Budha (Agama Konghucu sempat dipinggirkan pada masa Orde Baru). 

Hal ini memaksakan para pengikut aliran atau kepercayaan lokal untuk memilih lima agama (tidak termasuk Konghucu) untuk dicantumkan dalam KTP, jika tidak maka mereka bisa dianggap sebagai atheis atau komunis yang berdampak pada sulitnya dalam bekerja dan mendapat sanksi sosial. Secara tidak langsung agama yang pada awalnya mereka yakini akan memudar dan punah. 

Kejadian pendiskriminasian kepercayaan nyatanya tetap berlaku sampai sekarang. Bagi penduduk yang memilih kepercayaan selain enam kepercayaan, nyatanya kegiatan administrasinya dipersulit, sulit dalam mendapat hak berpendidikan, dan sering kali mendapat sikap tidak dihargai hak beragamanya atau intoleran. Adanya kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) sempat menimbulkan polemik di masyarakat karena Indonesia merupakan satu dari delapan negara di seluruh dunia yang mencantumkan kolom agama pada kartu identitas penduduk, hal ini menunjukkan bahwa mencantumkan agama pada kartu identitas penduduk merupakan hal yang tidak umum dan tidak sekrusial itu. 

Sejatinya dalam sistem hukum dan perundang-undangan di Indonesia, kebebasan masyarakat dalam beragama dijamin oleh negara. Bahkan dalam UUD 1945 Pasal 29 ditegaskan: (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu. (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. 

Salah satu upaya pemerintah dalam menyelesaikan masalah ini adalah diperbolehkannya para penganut aliran kepercayaan untuk mengosongkan kolom agama pada KTP sesuai dengan Pasal 61 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Kata "agama" pada pasal tersebut tidak hanya mencakup enam agama yang diakui saja, tetapi aliran kepercayaan juga termasuk. 

Karena pengosongan kolom agama sempat menimbulkan masalah baru di masyarakat seperti kesulitan mendapat izin saat proses pemakaman, mendaftar pekerjaan, dan lain-lain, maka saat ini kolom agama pada KTP sudah bisa dicantumkan "Kepercayaan Terhadap Tuhan YME".  Berubahnya kebijakan tersebut ternyata masih menimbulkan kerugian bagi penghayat kepercayaan karena kembali lagi dengan permasalahan administrasi. Masih banyak petugas kependudukan dan catatan sipil (dukcapil) yang tidak mengetahui aturan ini, sehingga biasanya petugas tidak langsung menindaklanjuti pengurusan berkasnya.

Dalam menyelesaikan masalah ini tidak hanya peraturan perundang-undangan yang harus diubah, tetapi sosialisasi serta penyuluhan ke masyarakat mengenai toleransi dengan orang yang berbeda keyakinan harus ditingkatkan lagi. Banyak masyarakat yang cita-citanya tidak tercapai hanya karena kepercayaan yang dianutnya dipermasalahkan, contohnya Carles Butar-Butar dan Maradu Naipospos. 

Sejak kecil Carles bercita-cita ingin menjadi seorang polisi dan untuk menggapai mimpinya tersebut, ia belajar dengan giat dan akhirnya mendapatkan nilai pelajaran yang baik serta ia merupakan murid yang disiplin. Tetapi mimpi tersebut gagal tercapai hanya karena Carles menganut kepercayaan Ugamo Malim. Kejadian tidak mengenakan juga dirasakan oleh Maradu, ia merupakan penganut kepercayaan Parmalim yang sejak SD diwajibkan untuk mengikuti pelajaran Agama Kristen dan sempat ia ditampar dengan buku oleh gurunya karena berkata kalau dia seorang penganut Parmalim. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun