Mohon tunggu...
Kastrat IMS FTUI
Kastrat IMS FTUI Mohon Tunggu... Mahasiswa - #PRAKARSA

Pagi Sipil! Kastrat IMS FTUI kini hadir di Kompasiana untuk membagikan beberapa tulisan yang kami hasilkan

Selanjutnya

Tutup

Nature

Deforestasi Minim Aksi, Layakkah Disebut Prestasi?

28 April 2021   15:53 Diperbarui: 28 April 2021   16:11 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

oleh Chandra Aulia Puteri

Kondisi Deforestasi di Indonesia

Sejak beberapa dekade terakhir, deforestasi di Indonesia dikabarkan mengalami penurunan secara kontinu. Forest Watch Indonesia melaporkan, pada tahun 2000, angka laju deforestasi di Indonesia mencapai 2 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 2000-2009 tercatat sebesar 1,5 juta hektar per tahun, dan 1,1 juta hektar per tahun di 2009-2013. Pada periode 2013-2017, Forest Watch Indonesia kembali melaporkan Potret Keadaan Hutan Indonesia bahwa angka laju deforestasi pada periode ini adalah 1,47 juta per tahun. Terakhir, pada periode 2019-2020, angka deforestasi Indonesia mengalami penurunan terendah sepanjang sejarah, yaitu sebesar 115,46 hektar atau turun sebesar 75,0% dibanding tahun 2018. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengklaim bahwa penurunan angka deforestasi ini merupakan sebuah bukti konsistensi kinerja Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, bukan hanya sebatas persepsi. Jika angka deforestasi di Indonesia memang mengalami penurunan, lantas, mengapa justru selama tahun 1 tahun terakhir ini, bencana ekologis kian meningkat?

 Polemik Dampak Deforestasi

Pada Januari 2021 lalu, banjir besar menerjang wilayah Kalimantan Selatan yang seharusnya menjadi wilayah resapan air hujan. Hal ini kemudian memicu polemik panjang. Meskipun Jokowi mengatakan bahwa banjir di Kalimantan Selatan terjadi karena tingginya curah hujan di Kalimantan Selatan selama 10 hari berturut-turut, tak sedikit pihak yang mengklaim bahwa banjir disebabkan karena masifnya eksploitasi lahan, terlebih, banjir tahun ini pun jauh lebih parah ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Faktor inilah yang kemudian dipercaya menyumbang kontribusi terbesar dalam terciptanya banjir besar Kalimantan.

Manajer Kampanye Walhi Kalimantan Selatan, M Jefri Raharja, menyebutkan bahwa banjir di Kalimantan Selatan sebagai bencana ekologi. Berdasarkan data yang dimilikinya, dari tahun ke tahun, terjadi pengikisan lahan hutan yang kemudian beralih fungsi menjadi perkebunan. Dalam kurun waktu 10 tahun, tercatat ada perluasan area perkebunan yang cukup signifikan, yakni sebesar 219.000 hektar. Argumen ini kemudian diperkuat dengan pernyataan Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Merah Johansyah, bahwa perizinan tambang dan sawit tidak dapat dipungkiri memang menjadi biang kerok rusaknya kawasan dengan fungsi ekologi, seperti kawasan gambut, hulu, badan sungai, dan kawasan karst.

Kian meningkatnya polemik penyebab banjir di Kalimantan Selatan mendorong Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya Bakar, angkat bicara. Dirinya dengan tegas membantah bahwa penyebab utama banjir di Kalimantan Selatan adalah akibat deforestasi maupun penyusutan wilayah aliran air. Ia menegaskan bahwa penyebab terjadinya banjir adalah semata-mata karena anomali cuaca dan curah hujan yang tinggi. Namun, pernyataan Menteri LHK ini tidak kemudian menyelesaikan polemik deforestasi sebagai dalang dibalik banjir besar Kalimantan Selatan. Pasalnya,  realita mengatakan yang sebaliknya. Terbukti, tidak hanya banjir, permasalahan lain pun muncul. Laju emisi karbondioksida tercatat berada pada nilai yang tinggi. Bahkan pada tahun 2015, Indonesia menjadi negara penyumbang emisi karbondioksida terbesar keenam di dunia. Menurut data World Resources Institute tahun 2012, Indonesia menyumbang 1,98 miliar ton emisi karbon dioksida per tahun. Hal ini terjadi karena hutan yang seharusnya dapat mereduksi dan mendaur ulang karbondioksida sampai dengan 300 miliar ton telah terkikis.

Di sisi lain, Peneliti Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), Gita Anindarini (Ninda), menyebut bahwa klaim pemerintah terkait penurunan laju deforestasi hingga 75% itu bukanlah suatu pencapaian. Menurut Ninda, klaim tersebut tidak dapat dilihat sebagai hasil yang berdiri sendiri, pasalnya, angka deforestasi di Tanah Air tetaplah tinggi.

"Jadi, jangan terjebak dengan penurunan persentase saja tanpa melihat luasan riilnya. Masih banyak PR yang harus diselesaikan KLHK dan pemerintah," ujar Ninda kepada Greeners.co.

 

Reforestasi Harus Diekskalasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun