Mohon tunggu...
Kastrat IMS FTUI
Kastrat IMS FTUI Mohon Tunggu... Mahasiswa - #PRAKARSA

Pagi Sipil! Kastrat IMS FTUI kini hadir di Kompasiana untuk membagikan beberapa tulisan yang kami hasilkan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perempuan dan Covid-19

20 April 2021   23:00 Diperbarui: 21 April 2021   06:24 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua pertiga dari angka tersebut merupakan kasus KDRT. Kemudian, mengutip sumber lain, data dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) juga menunjukkan bahwa terdapat 110 kasus KDRT yang telah dilaporkan sejak pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dari tanggal 16 Maret 2020 sampai 20 Juni 2020. Dalam kurun waktu tiga bulan tersebut, angka kasus KDRT telah mencapai setengah dari angka kasus KDRT selama 2019.

Shadow pandemic atau kekerasan domestik saat pandemi menjadi salah satu perhatian UN Women. Kekhawatiran tentang kekerasan domestik harus menjadi perhatian karena kondisi yang memaksa kita harus tinggal di rumah memberikan kesempatan perempuan untuk berada pada satu ruang dengan pelaku kekerasan. 

Suasana setiap rumah belum tentu kondusif karena adanya perubahan-perubahan yang tidak mengenakkan seperti kurang tersedianya bahan-bahan rumah tangga, tidak stabilnya pemasukan, dan faktor lainnya yang memberi stres berlebih serta memicu adanya kekerasan domestik. Hal ini menjadi sebuah ironi karena secara tidak langsung membuktikan rumah yang menjadi tempat kita tinggal dan beraktivitas belum tentu menjadi ruang aman bagi perempuan.

Pandemi juga membuat angka perkawinan dini naik. Terbukti dengan adanya 34.000 permohonan dispensasi kawin yang diajukan kepada Pengadilan Agama pada Januari hingga Juni 2020 yang 97%-nya dikabulkan. Angka ini meningkat dari tahun 2019 yaitu sebanyak 23.126 perkara dispensasi kawin. Kementerian PPPA mencatat bahwa hingga Juni 2020 angka perkawinan anak meningkat menjadi 24 ribu saat pandemi. 

Hal ini sempat menjadi perhatian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, sehingga memaksa beliau untuk segera membuka sekolah di tengah-tengah pandemi agar kasus perkawinan dini tidak semakin meningkat. Pemicu perkawinan dini memang berasal dari faktor ekonomi yang tidak menentu selama pandemi dan interaksi sosial yang didukung dengan tidak kondusifnya lingkungan belajar di rumah. Kegiatan sekolah yang tidak begitu kondusif membuat anak-anak lebih leluasa bergaul di lingkungan sekitar dan memberi kesempatan untuk terpapar pergaulan bebas serta kegiatan-kegiatan yang tidak wajar bagi usianya sehingga menjadi jalur eskalasi untuk permohonan perkawinan usia dini.

Penutup

Dengan adanya kondisi-kondisi di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pandemi memang memengaruhi gender tertentu, khususnya perempuan. Dengan kondisi luar biasa ini, kita harus lebih peka dengan kemungkinan kekerasan domestik yang terjadi di sekitar kita. Angka-angka di atas bukan hanya sekadar angka, melainkan juga bisa saja orang yang kita kenal. Kita perlu sadari bahwa memberikan dukungan mental dan material mampu menyelamatkan hidup seseorang.

Sebagai bentuk perjuangan hak-hak perempuan, kita harus senantiasa sadar terhadap kondisi-kondisi yang mungkin merugikan kaum perempuan seperti perkawinan dini, kesehatan mental yang terganggu, hingga banyaknya kasus kekerasan domestik. Zaman akan terus berubah, tetapi pergerakan dan perjuangan tidak akan pernah berhenti selama ketidaksetaraan masih terus bermunculan dan kita masih belum bisa melindungi pihak-pihak yang tidak berdaya.

Mimpi Kartini soal kesetaraan hak perempuan dan laki-laki tidak mungkin berhenti begitu saja. Mendirikan sekolah khusus perempuan dan mendedikasikan hidupnya untuk mengajar demi kesejahteraan perempuan bisa menjadi semangat bagi "Kartini-Kartini" masa kini. Peringatan 

Hari Kartini membuat kita harus terus berkaca dan bertanya apa saja hak-hak perempuan yang belum terpenuhi. Kemudian, setelah menyadari bahwa masih ada yang harus kita perjuangkan, kita paham harus ada tindakan konkret dari masyarakat sekitar. Ketika masyarakat mau memahami kondisi dan berbuat lebih, tentu akan ada jalan untuk selalu mewujudkan mimpi besar Kartini.

"Tahukah engkau semboyanku? 'Aku mau!' Dua patah kata yang ringkas itu sudah beberapa kali mendukung dan membawa aku melintasi gunung keberatan dan kesusahan. Kata 'Aku tiada dapat!' melenyapkan rasa berani. Kalimat 'Aku mau!' membuat kita mudah mendaki puncak gunung." - R.A. Kartini 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun