Mohon tunggu...
Kastrat BEM UI
Kastrat BEM UI Mohon Tunggu... Freelancer - @bemui_official

Akun Kompasiana Departemen Kajian Strategis BEM UI 2021. Tulisan akun ini bukan representasi sikap BEM UI terhadap suatu isu.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Conscious Capitalism: Keseimbangan antara Egoisme dan Altruisme

12 Oktober 2020   20:15 Diperbarui: 12 Oktober 2020   20:29 950
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Conscious Capitalism (Sumber: freepik.com)

Dampak dari penerapan paham egoisme ini adalah perusahaan tampak sebagai sebuah institusi yang rakus, eksploitatif, dan secara umum tidak beretika. Dalam bukunya When Corporations Rule the World, David Korten (2015), ekonom yang juga mantan profesor di Harvard Business School, menyatakan bahwa perusahaan dibutakan oleh keinginannya untuk meraih keuntungan finansial jangka pendek.

Seringkali, kerakusan perusahaan ini mengorbankan hal yang penting bagi masyarakat, contohnya lingkungan hidup. Mirisnya, bukannya mengubah model bisnisnya menjadi lebih baik, perusahaan justru menutup-nutupi keburukannya lewat kampanye-kampanye kehumasan serta segala bentuk corporate social responsibility (CSR) yang dilakukan. 

Salah satu perusahaan yang pernah menggunakan kampanye kehumasan untuk menutup-nutupi keburukannya adalah Lush (Ethical Unicorn, 2018).

Perusahaan kosmetik yang terkenal karena penggunaan "produk natural" dan kampanye anti kekerasan hewannya ini ternyata menggunakan paraben, sebuah zat yang berpotensi berbahaya untuk kehidupan flora dan fauna laut. Perusahaan lain yang pernah melakukan hal serupa adalah Urban Outfitters (The Occidental, 2019).

Perusahaan fashion asal Amerika Serikat tersebut mentransformasikan teater tua di Los Angeles menjadi salah satu tokonya, lalu mengklaim bahwa hal tersebut berdampak positif pada lingkungan tanpa menjelaskan alasan di baliknya.

Dua perusahaan di atas merupakan contoh kecil dari perusahaan-perusahaan yang sebenarnya tidak ramah lingkungan, tetapi mengaku ramah lingkungan. 

Di Indonesia, penggunaan kampanye kehumasan dan CSR untuk menutup-nutupi keburukan perusahaan juga tidak asing dilakukan. Salah satu contoh dari praktik ini adalah perusahaan rokok yang mensponsori kegiatan-kegiatan olahraga.

Perusahaan ini menampilkan citra sebagai perusahaan yang mendorong gaya hidup sehat melalui kegiatan olahraga, padahal perusahaan itu pula yang merusak kesehatan melalui produk rokok yang mereka jual.

Contoh berikutnya datang dari industri sawit. Majalah Sawit Indonesia menyampaikan bahwa pada 2018, perusahaan-perusahaan sawit menyalurkan dana CSR kepada masyarakat dalam bentuk pendidikan dan pelatihan, pembangunan sarana prasarana umum termasuk rumah ibadah, pelayanan kesehatan, bantuan korban bencana, dan pelestarian alam (Sawit Indonesia, 2018).

Perusahaan sawit yang praktik bisnisnya merusak alam berusaha untuk menutupi "dosa" mereka dengan menggelontorkan dana yang tidak seberapa untuk pelestarian alam. Bukannya mengganti praktik berdosa mereka dengan praktik yang lebih baik, perusahaan-perusahaan tersebut justru menutupi dosa mereka dengan melakukan sedikit kebaikan.

Sebagai akibat dari praktik egoisme yang dilakukan, persepsi publik pada perusahaan pun menjadi buruk. Edelman, perusahaan public relation dan pemasaran terbesar di dunia, merilis laporan tahunan mengenai kepercayaan publik terhadap empat institusi, yaitu lembaga swadaya masyarakat (LSM), pemerintah, media, dan institusi bisnis yang dilaporkan setiap tahunnya melalui Edelman Trust Barometer.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun