Mohon tunggu...
MArifin Pelawi
MArifin Pelawi Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa S3

Seorang pembelajar tentang pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Oposisi yang Tidak Akan Pernah Puas

19 Desember 2020   10:10 Diperbarui: 19 Desember 2020   10:14 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Terkadang membingungkan jika membaca komentar para oposisi. Sepertinya menyerang dari dua sisi yang berbeda. Ini terlihat dari permintaannya yang sering tidak masuk akal menurut orang yang bahkan baru belajar teori ekonomi keuangan dasar.  Pada saat bersamaan minta utang dikurangi tapi pajak jangan ditambah lalu pengeluaran  terus ditingkatkan. Lalu dari mana uangnya?  Tidak akan ada dan karenanya bisa terus protes seakan mereka membela rakyat.

Komentar paling sering memang soal utang negara. Seakan utang negara itu akan buat negara besok bangkrut. Bahkan sampai memajaskan bahwa menteri keuangan merupakan tukang pencari kredit keliling.

Hal ini tidak mengapa menurut saya, karena pada beberapa ekonomis memang tidak suka berutang terlalu besar. Karena itu akan membuat kestabilan ekonomi akan mudah goyang. Negara yang terlalu banyak hutang mudah terjerembap ke krisis ekonomi. Walau kata terlalu banyak kadang memang tidak ada ukuran sepakatnya. Jika mau bilang banyak maka tidak ada yang lebih banyak utangnya di dunia dibandingkan Amerika Serikat. Namun tidak akan pernah krisis ekonomi karena utang luar negeri. Karena dia yang punya dolar. Bagaimana bisa tidak bayar utang kalau mereka tinggal cetak jika butuh.

Hal yang jadi membingungkan adalah para oposisi yang merupakan ahli ekonomi juga protes ketika pemerintah menggaskan penarikan pajak. Salah satunya materai yang jadi Rp. 10.000,-. Kenapa ini membingungkan karena tindakan pemerintah menggalakkan pajak adalah hal yang wajar sebab rasio pajak kita dibandingkan GDP memang sangat rendah. 

Indonesia juga memiliki persentase orang yang membayar pajak PPh individu yang sangat rendah bahkan dibandingkan negara di Asia Tenggara lainnya. Sebagai seorang ekonom tentu saja beliau yang lulusan luar negeri dan pemikir ekonomi pasti paham mengapa pemerintah menggalakkan pajak; demi mengurangi utang.

Hal ini karena pemerintah tidak bisa mengurangi banyak pengeluaran. Untuk pendidikan minimal 20% subsidi. Belum lagi menalangi jaminan kesehatan nasional (JKN) yang tentu saja tidak murah. Bahkan negara sekelas Amerika Serikat belum punya JKN.  JKN yang mana banyak peneliti dan ahli dari luar negeri menyatakan kekagumannya bahwa Indonesia berhasil membuat JKN berjalan. 

Tambahan lagi untuk pengeluaran biaya keamanan besar karena negara sepertinya takut akan gerakan banyak politik identitas yang bisa membuat Indonesia mudah terpecah. Tambahannya adalah banyaknya subsidi jaring pengaman sosial yang harus dibayarkan pemerintah karena pandemi. Tanpa mengurangi maka pilihan hanya tambah utangan sebab menaikkan pajak saat pandemi juga merupakan bunuh diri politik.  

Protes yang lebih menggelikan adalah setelah pemerintah bilang akan memberikan vaksin gratis hanya sebagian masyarakat tertentu saja, maka protes pun langsung terjun lagi. Segala protes tentang bahwa  merupakan tanggung jawab negara melindungi rakyatnya pun dikeluarkan. Tetapi sekalian tetap protes ketika pemerintah cari tambah utangan. Ekonomis mana pun paham jika pemerintah membatasi vaksin gratis karena sebenarnya tidak mau tambah utang.

Akhirnya terlihat pemerintah menuruti untuk menggratiskan vaksin karena banyak pihak ahli yang juga meminta agar digratiskan untuk semua bagi menjaga agar ada herd immunity. Namun setelah terjadi, maka dengan mudahnya bilang hal itu adalah wajar karena kewajiban pemerintah. Lalu sambil protes lagi bahwa utang Indonesia semakin besar.

Namun, saya tidak pernah mendengar bahwa para ekonomis oposisi ikut protes akan banyaknya pengeluaran subsidi yang tidak sesuai dengan rendahnya tarif pajak sebagai salah satu penyebab utama utang negara terus bertambah dengan cepat. Indonesia yang terlalu berada di tengah yaitu sosialis pada belanja dengan banyak memberikan subsidi. 

Hanya saja mengambil pendapatan sistem neoliberal dengan pajak rendah. Sebagai ekonomis tentunya paham bahwa subsidi besar tidak sejalan dengan tarif pajak rendah. Akan menciptakan besar pasak daripada tiang yang pada sendirinya nambahin utangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun