Mohon tunggu...
MArifin Pelawi
MArifin Pelawi Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa S3

Seorang pembelajar tentang pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hasil Survei PISA dan Kebahagiaan Sekolah Kembali Offline

14 Desember 2020   21:21 Diperbarui: 14 Desember 2020   21:48 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sepertinya, anak-anak yang kurang kompeten merasa lebih bahagia di sekolah. Dan tidak ada salahnya menjadi bahagia. Tetapi saya khawatir bahwa anak-anak Indonesia bahkan tidak menyadari bagaimana buruknya sistem sekolah yang gagal melayani mereka. Meskipun sebagian  besar dari mereka, pada usia 15 tahun, bahkan belum memperoleh keterampilan dasar yang diperlukan untuk berfungsi dalam masyarakat modern, akan tetapi mereka mengira bahwa mereka siap untuk masa depan. Sekitar 95% menyatakan bahwa mereka telah mempelajari hal-hal yang mempersiapkan dirinya untuk pekerjaan mereka di masa depan, dan hampir tiga perempat berpendapat bahwa sekolah telah mempersiapkan mereka secara memadai untuk kehidupan dewasa. Kurang dari satu dari sepuluh orang menganggap sekolah hanya membuang-buang waktu. (Elizabeth Pisani, http://indonesiaetc.com/indonesian-kids-dont-know-how-stupid-they-are/, 2013)

Hampir setahun kita berada di mode pandemi, ada salah satu kritikan kepada sekolah yang mungkin agak lemah pengaruhnya, yaitu siswa tidak betah di sekolah karena para guru tidak bisa mengajar dengan baik.  Mereka yang berani berkata seperti itu mungkin  akan disembur ludah berjuta orang tua yang sudah tidak tahan menghadapi anaknya belajar di rumah saat ini. Kita juga mengetahui bagaimana banyak orang tua serta siswa saat ini banyak dalam mode perang terhadap pihak yang meminta anak tetap belajar di rumah. Kebijakan yang cukup populer adalah ketika Mendikbud memberikan ijin kepada sekolah untuk tatap muka mulai Januari. Lini masa media sosial banyak mengungkapkan kegembiraan orang tua dan siswa akan adanya kesempatan belajar offline lagi.

Yang muncul dalam benak saya adalah kegembiraan karena anak telah kembali belajar atau sekarang orang tua bisa bebas dan menyerahkan tanggung jawab mendidik kepada guru? Ataukah orang tua membutuhkan tempat untuk anak-anak pergi, dan seseorang (guru) untuk membuat mereka sibuk saat orang tua bekerja? Sekolah offline memungkinkan orang tua bebas bekerja dan lepas dari rong-rongan tuntutan bertugas sebagai guru pengawas untuk anak. Ketika siswa belajar dari rumah, guru menyerahkan tanggung jawab sebagai manajer belajar anak kepada orang tua. Guru lebih berfungsi sebagai pemberi informasi pengetahuan dan memberi tugas. Hal yang terlihat pada banyak meme dan curhat di media sosial menjadi beban berlebihan pada orang tua (termasuk guru yang menjadi orang tua). Beban yang bahkan telah mengambil korban jiwa seorang anak di Tangerang beberapa waktu lalu. .  

Selama ini orang tua memang jarang peduli dan berbicara tentang apa yang sebenarnya dipelajari anak-anak di sekolah. Hal yang mereka perhatikan hanyalah hasil akhir berupa nilai. Nilai yang menurut mereka menggambarkan seberapa baik anak mereka dibandingkan anak lain. Prestasi yang menunjukkan seberapa baik status sosial yang bisa dicapai anak di masa depan. 

Masyarakat kita telah memutuskan bahwa ijazah dan nilai yang menemaninya adalah hal yang dibutuhkan dari sekolah. 

Memang, jika kita hanya ingin semua orang belajar membaca dan mengerjakan matematika,  kebanyakan anak dapat mempelajarinya dalam beberapa bulan. Jika kita ingin mereka belajar berpikir kritis, mereka dapat mempelajarinya dengan banyak cara. Tidak perlu melibatkan belajar Matematika, Fisika dan Kimia tingkat tinggi yang hampir tidak akan mereka gunakan dalam kehidupan masa depan mereka kecuali jika mereka memilih pekerjaan di bidang tersebut. Saya tahu ini dengan cara yang memalukan, karena saya beserta istri dan sepupu tidak bisa membantu mengerjakan PR keponakan yang sekolah di SMP. Bahkan setelah meminta bantuan om Google untuk melihat rumusnya, he he he. Tetapi demi memberikan legitimasi pada ijazah maka hal ini perlu dilakauakn

Ada suatu keadaan yang bertolak belakang saya sajikan di sini. Pada satu sisi saya menyatakan bahwa pelajaran yang diberikan pada anak Indonesia terlalu sulit. Pada sisi lain saya memberikan kutipan dari pernyataan Elizabeth Pisani di atas yang menggunakan data PISA menunjukkan bahwa kemampuan akademik anak Indonesia terlalu rendah. 

Hal ini karena tes PISA sendiri sebenarnya memiliki kelemahan. Mereka tidak melakukan tes khusus tersendiri untuk Jabodetabek seperti mereka melakukan di China pada Shanghai. Ketimpangan terbesar di Indonesia ada pada perbedaan region. Ini bisa dilihat dari data Human Development Index yang dikeluarkan BPS di mana Jakarta memiliki nilai sangat tinggi sementara di sebagian besar daerah lain di Indonesia sangat rendah. Jika ini dilakukan maka menurut saya akan terlihat Jakarta akan menunjukkan tingkat akademik yang sangat tinggi tetapi memiliki ketimpangan secara status ekonomi yang sangat tinggi. Hal ini yang menurut hemat saya menyebabkan bahwa di Jabodetabek pada sekolah elitnya, mata pelajarannya sangat sulit. Akan tetapi hasil tes PISA menunjukkan bahwa pelajar di Indonesia belajar terlalu santai.   

Belajar santai yang membuat anak-anak di Indonesia secara rata-rata lebih gembira berada di sekolah dibandingkan negara lain pada survei PISA. Terutama pada survei tahun 2012 di mana Indonesia paling top dibandingkan seluruh anak di negara lain. Suatu kebanggaan bahwa anak Indonesia bahagia berada di sekolah. Namun sayangnya, walau tingkat akademik yang dilaporkan di 2018 tidak terlalu berbeda bahkan kemampuan membaca menurun, tetapi tingkat kebahagiaan murid di Indonesia menurun menjadi hanya sebesar rata-rata walau tetap tinggi di 91%. Mengapa hasil akademiknya tidak naik tetapi malah makin tidak bahagia? 

Penurunan ini menurut saya terjadi di kota besar utama di mana belakangan ini telah menjadi kelaziman berada di sekolah hampir seharian yang kemungkinan mengurangi tingkat kebahagiaan. Namun, hasil akademik hanya membaik pada sedikit sekolah elit yang berada di kota besar utama seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya yang memiliki fasilitas dan kualitas guru yang memadai. 

Indonesia adalah negara yang sangat unik. Anak-anaknya sangat bahagia kembali ke sekolah. Namun, ketimpangan yang sangat besar terjadi karena penumpukan yang sangat tinggi baik sumber daya manusia dan finansial pada beberapa tempat saja menimbulkan kebahagiaan bersekolah yang membuat anak-anak Indonesia tidak mendapatkan hal yang dibutuhkan dari sekolah, pikiran kritis, bukan ijazah.  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun