Mohon tunggu...
kartosar
kartosar Mohon Tunggu... Freelancer - Menjadi istimewa itu membebani

Menulis untuk menjaga kewarasan - Menulis untuk melatih otak - Menulis untuk hidup

Selanjutnya

Tutup

Gadget

Boikot Sosmed untuk Siapa?

3 Mei 2021   13:32 Diperbarui: 3 Mei 2021   13:34 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa hari ini berbagi pihak yang terlibat dalam Premier League di Inggris memboikot sosial media. Mulai dari klub, pengurus, asosiasi, dan tentu saja para pemain. Ini dilakukan karena sejumlah akun di sosial media semakin gencar mem-posting hasutan, makian, hinaan yang berbau ras kepada pemain dan klub seteru. Semakin terang-terangan dan berulang-ulang.

Kenapa memboikot, bukan melarang atau mem-banned sosial media. Sosial media adalah produk perusahaan, bukan milik pemerintah yang biasanya sebuah pelayanan publik. Produk perusahaan yang tidak benar, atau menyalahi sisi kemanusian konsumer selayaknya diboikot. Itu tandanya konsumen melakukan protes. Dalam kasus sosial media, semua pemilik akun adalah konsumen.

Beberapa orang, mungkin kebanyakan dari kita, bisa dengan mudah melakukan justifikasi. Misalnya 'kalau tidak suka ber-sosial media, jangan dipakai'. If you don't like it, don't use it. Sekilas tampak benar.

Tapi ini pemikiran agak-agak "whataboutism". Silahkan dicari sendiri apa definisi "whataboutism." Yang pasti, pemikiran seperti ini mengecilkan masalah sebenarnya dan bahkan keluar dari masalah yang sedang dibahas.  Dan, orang pun akan mudah mengonternya. Misalnya, 'kalau enggak suka dengan kata-kata rasis, jangan dengarkan' atau yang lebih ekstrem, 'kalau enggak mau dibunuh, jangan mau dibunuh'. Persoalan terus ditanyakan tanpa ada tanpa solusi.

Apakah boikot ini akan berhasil? Tergantung tujuannya apa. Saya melihat ini sebagai peringatan kepada para pemain, fans, dan pihak-pihak yang berhubungan dengan Liga Inggris yang memakai sosial media.

Perusahaan sosial media seperti Facebook, Twitter, atau Instagram tentu tidak akan melakukan sensor. Bukan tidak mau atau tidak bisa, tapi itu sama saja dengan bunuh diri. Melakukan sensor berarti mengurangi jaringan dan akhirnya menghilangkan monopoli. Siapa yang mau kehilangan pasar?

Boikot ini sebuah pernyataan tak resmi pada kepada pemain. Jika mereka memutuskan ber-sosial media, mereka harus siap juga menerima efek negatifnya. Jika tampil bagus akan dipuji, jika tampil buruk akan dihina. Masalahnya, tampil bagus pun tetap akan dihina dan (maaf) jika dikatain monyet oleh fans lawan di sosial media. Gawatnya lagi, meski pemain A, misalnya, tidak memiliki akun sosial media, dia tetap tak luput dari hinaan dan hujatan melalui akun sosial media rekan satu tim atau akun klub.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun