Mohon tunggu...
kartosar
kartosar Mohon Tunggu... Freelancer - Menjadi istimewa itu membebani

Menulis untuk menjaga kewarasan - Menulis untuk melatih otak - Menulis untuk hidup

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pandemi Menyuburkan Rasisme

11 Maret 2021   20:47 Diperbarui: 11 Maret 2021   20:58 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Josh Hild from Pexels

"Aku tak bisa bernafas, tolong," suaranya terengah-engah. Dia menahan sakit luar biasa di leher. "Mama," katanya lagi. Petugas yang menekan lehernya tak peduli. "Kamu bisa ngomong lancar, kok," semprot si petugas tanpa melihat. Selama hampir tiga menit lehernya berada di antara lutut petugas dengan aspal. Hampir tiga menit kemudian, sang petugas lalu mengangkat lututnya. Dia tak berdaya. Tapi baru 8 menit kemudian dia dibawa ke ambulans.
 
George Floyd pingsan, lalu meninggal di tahanan polisi. Beberapa hari kemudian, pecah kerusuhan di berbagai kota di Amerika. Floyd berkulit hitam, sedang petugas polisi yang menekan kepalanya dengan lutut berkulit putih.
 
Tahun 2020 lalu, kasus Floyd menjadi percikan berkobarnya kembali gerakan Black Lives Matter yang sudah ada sejak 2013, dengan alasan yang mirip dengan Floyd. Kobaran kali ini berhasil mendunia. Di sepak bola Eropa, muncul gerakan take the knee yang masih berlangsung sampai sekarang. Kampanye ini ditujukan untuk melawan rasisme di sepak bola yang, ironisnya, masih sering terjadi.
 
Perseteruan kulit hitam dan putih bukan lagu baru. Sering terjadi. Kenapa seolah-olah rasisme cuma urusan kulit putih dan hitam? Karena memang mereka yang paling banyak muncul di media-media negara maju. Orang tidak peduli, dan mungkin tidak tahu, kasus rasisme juga banyak terjadi di negara seperti di China, India, dan tentu saja Indonesia.
 
Di Amerika, negara yang mengusung land of free, rasisme ada di dalam skala kecil sampai nasional. Hanya saja setahun terakhir eskalasinya tinggi karena beberapa hal. Salah satunya, pihak-pihak pembuat kebijakan di negara itu seolah-olah berpihak. Ditambah lagi Donald Trump, presiden ketika itu, bersikap abu-abu dalam kasus rasisme ini.
 
Amerika Serikat negara imigran. Imigran kulit putih datang, berkelahi dengan penduduk pribumi, lalu perang antar-mereka sendiri. Berdirilah Amerika. Ratusan tahun kemudian jumlah penduduk kulit putih yang mayoritas terus dikejar imigran kulit hitam, hispanik, dan Asia. Non kulit putih diperkirakan akan menjadi mayoritas penduduk Amerika Serkat dalam beberapa dekade lagi.
 
Terpilihnya Barack Obama menjadi presiden sedikit banyak menjadi pemicu. Sosok flamboyan setengah berkulit hitam lahir dari ayah asal Kenya, sebuah negara muslim. Delapan tahun kemudian, administrasi Obama selesai, lalu muncul calon presiden perempuan kuat, Hillary Clinton. Kekhawatiran kelompok konservatif dan supremasi kulit putih yang menjadi backbone Partai Republik mulai menguat.
 
Are you freaking kinddin' me. Setelah presiden berkulit hitam, kini presiden perempuan?  Mau dibawa kemana Amerika? Institusi sosial white supremacy semakin terusik. Konservatif pun melawan. Selanjutnya kita tahu, Donald Trump jadi presiden.
 
Trump bukan orang politik, bukan politikus. Dia tidak mengenal teori, 'dekatilah musuhmu' atau utamakan konstituen. Dia malah melakukan sebaliknya. Bahkan lebih parah, dia memperbanyak musuh. Politik soal kepentingan, bukan soal suka atau tidak, putih atau hitam. Sebagai presiden, Trump sangat sering
 
Kurang dari setahun sejak kasus Floyd, Trump pun kalah tipis dalam pemilihan presiden. Terlepas dari tuduhan banyaknya kecurangan, Trump memang menempatkan dirinya di jurang kekalahan. Penyebabnya, salah satunya ya itu tadi, musuhnya terus bertambah.
 
Kekalahan Trump juga secara tak langsung mengukuhkan kemenangan BLM atas white supremacies. Masalahnya, isu rasis ini menjadi bola liar. Memercik kemana-mana. Mungkin ada orang atau kelompok yang mendorong untuk menyinggung institusi terbesar kulit putih; Kerajaan Inggris, soal rasisme.
 
Munculah wawancara Harry dan istrinya, Megan Markle. Mereka terang-terangan menyebut kerajaan Inggris rasis, meski tanpa menyebut nama. Publik Inggris pun terbagi dua, pro dan kontra Megan. Warga Amerika yang baru saja dipimpin kembali oleh kelompok liberal terkesan mendukung Megan, meski hampir setengahnya tidak peduli atau bahkan mendukung kerajaan.
 
Dari Floyd, Megan, lalu siapa lagi?

Masalah rasis ini sepertinya tak terlepas dari pandemi yang menghantui manusia setahun terakhir. Ini bukan soal benar atau salah. Ini soal krisis, keadaan darurat, ketakutan, dan kepanikan. Setahun terakhir, dunia panik, takut, dan mengalami krisis. Di saat seperti ini, kebodohan, rasisme, dan xenophobia tumbuh subur.  

Semoga vaksin ikut membuat pandemi menjadi endemi. Endemi tidak akan pernah hilang, tapi hanya menjangkiti suatu populasi atau wilayah. Rasisme juga tak akan pernah hilang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun