Perbandingan ini pula juga dapat dirasakan pada profesi dokter. Ketika salah satu dokter terjerat malpraktik maka secara otomatis jabatan dan wewenang sebagai dokter akan dicabut. Tentu dengan hukuman yang berat pula. Pasti akan berbanding terbalik dengan korupsi. Selanjutnya juga dirasakan pada profesi pilot.Â
Taruhan nyawa selalu membayangi seorang pilot. Namun, pada koruptor nyawa seakan-akan masih melekat dalam diri meski berstatus tersangka. Ini dikarenakan hukum yang diterapkan pada koruptor terbilang biasa dan masih bertoleransi. Apalagi profesi lainnya yang tergolong sama melanggar hukum, seperti pencuri lebih menyesensarakan ganjaran hukum yang diterima.
Korupsi sudah menjadi wajah utama bangsa Indonesia. Meski UU berkali-kali diubah dengan tujuan agar lebih mengontrol pergerakan korupsi sendiri tetap korupsi akan menjadi solusi sebagai lahan kenikmatan hidup diri. Banyaknya media yang memberitakan tentu juga akan memberikan dampak negatif dan positif terhadap penikmat terutama rakyat jelata. Rasa iri dengan keadaan ini akan terlintas pada rakyat. Itu semua merujuk pada hukuman yang diterima oleh koruptor.
Memang menakutkan kata "korupsi". Tetapi, ketika berbifikir secara risiko dalam setiap tindakan profesi maka saya sendiri akan lebih memilih sebagai koruptor. Itu semua tidak semata-mata muncul karena keinginan hidup yang lebih nyaman. Karena dalam kehidupan yang paling utama adalah kenikmatan sementara dalam mengarungi perjalanan hidup. Tentu untuk mengarungi perjalanan hidup dengan kenikmatan perlu adanya finansial yang kuat dan minim resiko, tapi dengan hasil luar biasa. Terlepas dari bahasa "barokah" pada ajaran agama.
Gembor-gembor dan slogan anti korupsi tetap saja itu hanya sebagai selingan belaka. Hasilnya, setiap tahun drama itu selalu tampil dalam balutan berita utama di media cetak dan daring. Yang paling aneh adalah guru di doktrin agar menciptakan dan memperkenalkan bahwa korupsi adalah kesalahan fatal dalam kehidupan. Terlepas dari peran guru, maka bagaimana tindakan hukum yang paling progesif untuk memberikan ganjaran setimpalnya. Seribu ucapan anti korupsi dan sejuta guru motivasi bahwa korupsi itu salah akan hilang jika masih ada publik figur yang terjerat kasus korupsi.Â
Layak saya katakan itu semua dagelan yang terselip dari balik topeng slogan itu sendiri. Sebab, cita-cita akan muncul dari apa yang dilihat, di dengarkan, dan dirasakan dengan bukti-bukti yang dirasa sebagai kebiasaan di mata sosial. Maka tidak akan terelahkan, suatu saat bibit-biti penerus bangsa akan mengutarakan bahwa "saya bercita-cita menjadi sebagai seorang koruptor". Dan jika terbukti maka, "Budi, apa cita-citamu sayang? Cita-citaku menjadi seorang koruptor bu guru".
Jika sudah begitu, siapa yang akan disalahkan? Gurukah? atau ajaran orang tua? atau bahkan ajaran agama sekalipun? Tentu bangsa sendiri tidak akan dapat menjawabnya secara tepat. Sebab, birokasi pemerintah Indonesia masih selalu menjadi alur keuangan utama dan membuka gerbang bahwa koruptor adalah cita-cita.
Penulis
Jember, 27 Mei 2018