Mohon tunggu...
Rizki Subbeh
Rizki Subbeh Mohon Tunggu... Guru - SAYA ADALAH SEORANG GURU

Dekonstruksi Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | "Setu Pon" 18 Juli 1992

3 Mei 2018   14:12 Diperbarui: 3 Mei 2018   14:26 851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Doc. nirvanalive.com

Mulai ku temukan. Dari beberapa lendir yang siap menerima. Meski berjumlah jutaan bahkan miliaran. Ia berkeliling, menjamak setiap lendir yang ada. Meski kadang harus merekam kepunahan lendir. Ada satu lendir yang selalu penasaran. Jutaan lendir lainnya siap mendekati saudaraku. Tidak ada bunyi yang mereka bawa. Padahal ada gelombang rebutan dan terkadang menabrak satu sama lain. Aku masih mengincar yang terbaik dari yang ada. Sebab, kali ini aku harus membawanya pulang untuk mengubahku menjadi gumpalan.

Aku raba lagi saat proses jutaan lendir memasuki rumahku. Entah pada satu malam atau pagi dan bahkan sore atau siang. Kala itu tidak terdengar kebisingan. Hanya ada suatu guncangan. "clepuk-clepuk" suaranya berkali-kali. Terkadang kencang kadang lunglai dengan romantis. Sekitarnya basah. Mengeluarkan cairan. Aku tak menghiraukannya. Jujur, aku sudah gerah berada dipenjara selama 2 Tahun. Meski banyak lendir tetap saja tidak ada yang bisa membawaku.

Suara "clepuk-clepuk" itu selalu ku dengar di dalam sini. Tapi aku selalu tidak pernah melihat matahari, bulan, bintang, dan bahkan suara hujan sekalipun. Yang jelas, ketika ada suara tersebut pasti akan ada yang bersinggah di rumahku. Rumahku kecil, namun saudaraku ribuan. Mereka sama-sama menunggu jemputan. Jadi tak heran mereka berebutan. Kadang terdengar syair-syair. Entah apa artinya, mungkin untuk diriku agar salah satu lendir sukses membawaku. Namun sudah 2 tahun tidak ada yang sukses.

Tahun ketiga setelah beberapa ayat yang menggema disaksikan puluhan pasang mata. Kali ini, aku mendengar rintihan. Bukan menangis, sepertinya rintihan ini membuatnya kegirangan. Seperti biasa, aku menunggu lendir yang datang ke rumahku. Sejuta harapan selalu ku tanamkan. Agar memberikan jalan pulang kepadaku. Clepukan itu kini semakin kencang. Sesekali tidak ada suara meski hanya ada getaran saja. Terombang-ambing seisi rumah. Aku juga terpontang-panting. Menghantam kesana kemari di dindin yang berbekas merah.

Ada satu lendir yang menurutku tidak biasa. Bercahaya hingga memberikan efek ekor dibelakangnya. Mengarah padaku, meski saudaraku sudah gugur kesekian kalinya. Dia terus lurus, dengan pelan dan menikmati perjalanan. Akupun juga begitu, selalu pasrah meski harus merelakan nyawa. Toh aku akan hidup lagi setelah beberapa jam ke depan.

Dia semakin mendekat, tidak menghiraukan apa yang dilewatinya. Tatapannya lurus seperti sinar laser yang dapat menembus beberapa hambatan. Tidak tergoda, meski saudaraku mencoba mendekatinya. Aku semakin terpojok melihat usaha yang sedang berjuang mendekati. Jarak sudah meluluhkan. Aku jatuh dipelukannya. Menempel hingga memprosesku dan siap membawaku keluar dari penjara yang tak berwujud. Dia menguasaiku, disisi lain suara desah sontak kami dengar. Aku dan Dia menyatu padu.

***

Minggu ke-4 kami bersatu. Mengubah kami menjadi gumpalan dan menjadi struktur. Kami merasakan beberapa ruas tulang belakang. Sesekali kami merasakan detak jantung pada diri. Kami tidak mengerti, apa yang sedang terjadi. Seperti inikah ketika aku sudah menemukan pasanganku. Namun, kami tidak pernah mengeluh dari perubahan yang dialami. Kami semakin bereselancar saat beberapa nutrisi memasuki ruang.

Untuk kesekian kali merasakan perubahan yang signifikan. Mungkin ini sudah memasuki pekan ke-7. sebab aku sudah merasakan perubahan yang jauh dari yang lalu. Aku merasa bobot semakin bertambah, mungkin seukuran biji kacang. beberapa organku mulai memecah bagian. Proses panjang ku lalui hingga pekan ke-10. Di tandai dengan terbentuknya saraf yang begitu cepat dalam setiap menit. Otakku semakin merespon sekitarnya. Aku seperti manusia mungil.

Aku melihat sekitar. Sepertinya rumahku sudah mulai membengkak. Dari apa yang aku alami. Apalagi aku mulai mendengarkan beberapa bisikan. Ada juga harapan dan rencana. Entah apa yang dimaksutnya. Kami sudah berumur seratus hari. Aku juga mulai bergerak meski sangat pelan. Bahkan melebihi lembutnya sutra. Namun, aku dibingungkan dengan simbol suara. Setiap hari aku selalu mendengarkan kata "Allahu akbar". Kadang ada juga suara panjang yang tidak patah.

Berselang dari itu, aku kembali menemukan riuh di telinga. Kali ini sudah semakin ramai. Sepertinya mereka bernyanyi, entah untuk siapa dan tujuannya apa. Aku hanya menyimak. Ukuranku semakin besar, beberapa organ sudah dapat bergerak terpatah-patah. Suatu waktu yang aku tidak mengetahui waktu apa itu. Ada cahaya masuk yang menjurus padaku. Aku seperti baru saja dimasuki oleh roh-roh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun