Mohon tunggu...
Mahbub Karumbu
Mahbub Karumbu Mohon Tunggu... lainnya -

Saya senang membaca meski bukan kutu buku, senang menulis meski belum bisa bikin buku. Mulai menulis sejak jadi wartawan tahun 2003, sejak itu pula mulai jarang membaca.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Doro Raja

22 Maret 2012   17:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:36 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DI SINI, pada ketinggian 50 meter di atas Teluk Bima, yang mati dan hidup bertaut: Doro Raja. Doro, dalam bahasa Mbojo, berarti bukit atau gunung. Raja, ya, raja. Tapi zaman memakzulkan semua yang keramat dan sakral. Komplek pemakaman raja-raja Bima ini sekarang berubah. Para hantu menyingkir sejak Doro Raja ramai didatangi muda-mudi, setahun terakhir.

Waktu itu saya baru tiba di Kota Bima, pindah dari Mataram demi cari makan. Sekelompok pengamen dari Terminal Dara agaknya sudah merasa cukup dengan receh. Tak ada masa depan dalam koin seperak-dua perak. Mereka mau yang lebih. Berkumpul lalu memancang beberapa bambu menjadi teratak kopi.

Teratak dan kopi mengubah semua yang mencekam di Doro Raja, bahkan ketika malam yang paling gelap sekalipun. Dari ketinggian ini Kota Bima terhampar seperti lukisan geoglif di Nazca. Yang tampak adalah garis-garis dan kerjapan lampu, selebihnya bukan apa-apa. Dalam remang lampu minyak, orang-orang menjelma bayangan yang meliuk-liuk. Lalu, musik dari handphone

Kematian seharusnya menemukan kedalamannya pada malam, remang, dan semua yang berbisik. Tapi di sini kematian yang menakjubkan itu tak punya arti. Yang hidup mematikan yang mati. Kehidupan menjarah dengan ganas hingga ke pemakaman, tak peduli itu persemayaman abadi para baginda.

Betapa dahsyatnya manusia. Dalam kesepakatan yang imajiner di puncak bukit ini mereka meruntuhkan mitos dan takhayul. Juga yang transeden. Dan, saya menyesali bahwa dalam setahun terakhir, meski saya sangat mengharapkan, tak pernah ada yang kesurupan.

Itulah kenapa di sudut-sudut kuburan, di tempat yang gelap dan rimbun, jangan disangka tak ada manusia: laki-laki dan perempuan!

******


Saya kira manusia modern kehilangan dua faset penting: takut dan fantasi. Kita sering menyimpainya sekaligus menjadi “takhayul”. Lebih dari itu,yang transenden diabaikan.

Semoga Tuhan mengampuni saya, tapi kali ini saya ingin melihatnya tanpa sudut pandang agama atau otoritas baku. Seperti apapun kaum agamawan dan filsuf memusuhinya, takhayul sedikit-banyak berjasa mengingatkan manusia bahwa ada kekuatan yang lebih besar di luar dirinya. Kekuatan adikodrati yang senantiasa mengancam sekaligus melindungi.

Fantasi dan rasa takut itulah yang awal-awal membimbing manusia agar tak gegabah atau membabi buta. Keduanya bergerak menciptakan nilai, etika, dan kepatutan. Dengan itu pula manusia mengendalikan diri.

Masyarakat tradisional yang dipengaruhi oleh bentuk-bentuk mistisisme itu juga memiliki konsep “tempat”. Bahwa, di balik ruang yang kongkrit, ada ruang lain yang abstrak; tempat hakikat dan yang suci bersemayam.

Masyarakat Bima, dalam salah satu versi yang pernah saya baca, menyebut diri mereka Dou Mbojo. Dou berarti orang, Mbojo adalah sebutan untuk tanah yang sekarang disebut Bima. Istilah Dana Mbojo atau Tanah Bima konon berasal dari “Dana Ma Mbuju” atau tanah yang tinggi. Boleh jadi, maknanya setara dengan “tanah yang mulia” atau “tanah yang agung”.

Mungkin pula bukan kebetulan jika situs-situs klasik Bima berkaitan dengan “tanah yang tinggi” atau bukit. Misalnya situs Wadu Ntanda Rahi, Rade Caka sisa dari kebudayaan Parafu, dan Kuburan Danatraha di Doro Raja ini.

Selebihnya, tanah tetap berarti mulia dan agung. Kuburan atau rade, tak peduli di bukit atau bukan, adalah tempat yang sakral. Itulah kenapa masyarakat Sambori, yang masih jauh dari gempuran modernisme, masih mewarisi kepercayaan mistik tentang tanah keramat yang tak boleh diinjak: Rade La Hila.

Begitulah. Takhayul, pada bagian-bagian tertentu, senantiasa menyelipkan kearifan. Namun, realitas (abstrak) yang tak terjangkau indra hanya dapat disentuh oleh mereka yang percaya. Para dukun lepas dari diagnosa dan meminta syarat “percaya” dari orang-orang yang datang kepadanya. Kalau percaya, sembuh. Kalau tidak, carilah dokter.

Pada masa ketika aspirin belum ditemukan, orang-orang merapal mantra untuk meringankan sakit kepala. Ketika agama-agama menyeberangi samudra dan benua, banyak penyakit diobati dengan minum air putih yang dibacakan ayat-ayat suci. Ajaib dan mencengangkan buat kita sekarang, tapi dulu itu sangat lazim.

Itulah yang menguap ketika manusia semakin sibuk mengurus angka dan memeriahkan yang lasak: benda-benda. Segala sesuatu dihitung, terjadwal, dan teratur. Kenikmatan dan kepuasan ditakar dari produktivitas dan efisiensi. Kehidupan kemudian menjadi seperti mesin yang berputar-putar pada sirkulasi yang tetap. Hegel menyindir yang seperti itu, “Ein sich in sich selbst bewegende Leben des Todes”, kehidupan yang bergerak sendiri tapi sebenarnya tersusun dari bentuk-bentuk yang mati.

Barangkali, pada akhirnya agama dan takhayul perlu bekerjasama demi umat manusia agar tak buru-buru mati.[]

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun