Mohon tunggu...
Kartini Kartika
Kartini Kartika Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Mahasiswa Universitas Negeri Medan

"...kenangan buah pikiran akademisi berupa tulisan. Menulislah, meskipun masih jauh dari kata cendekiawan..."

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Salahkah Pendidik Terjun ke Dunia Sosial Media?

27 Februari 2020   01:27 Diperbarui: 27 Februari 2020   01:30 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendidik/guru adalah seseorang yang bertugas sebagai fasilitator dalam membantu penerus bangsa untuk bisa mengembangkan ilmu pengetahuan,juga nilai spiritual. Tantangan bagi guru adalah mendidik dengan sabar, ikhlas, dan penuh rasa syukur. Namun, untuk sekarang, itu tidak cukup. Di Abad 21, para pendidik diharapkan memiliki skill khusus, yakni information, media, and technology skills.

Semakin berkembangnya zaman, semakin berkembang pula teknologi yang ada disekitar kita, jika tidak bijak dalam menggunakan, maka teknologi yang katanya akan mempermudah pekerjaan manusia, malah akan memperumit permasalahan manusia. Maka dari itu, guru di harapkan mampu membangun pondasi yang kokoh bagi para peserta didik, agar bijak menyikapi perkembangan teknologi yang kian hari semakin hebat. Namun, untuk menanam pondasi itu, guru harus terlebih dahulu mengetahui perkembangan teknologi tersebut, agar dapat memfilter mana yang baik untuk di konsumsi peserta didik, mana yang seharusnya dijauhkan dari peserta didik.

Tidak ada salahnya update terhadap ilmu masa kini, namun akan salah bila seorang pendidik yang menjadi "korban" atas kesalah-pahaman terhadap canggihnya teknologi. Jika pendidik tidak bijak dalam menggunakan teknologi, apa jadinya peserta didik yang mencontoh pendidik tersebut?

Sebelum melihat kasus, ada baiknya kita mengetahui kode etik yang harus di miliki guru, yakni: (1) Guru berbakti membina anak didik seutuhnya untuk membentuk manusia pembangunan yang ber-Pancasila; (2) Guru memiliki kejujuran profesional dalam menerapkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak didik; (3) Guru mengadakan komunikasi terutama dalam memperoleh informasi tentang anak didik tetapi menghindarkan diri dari segala bentuk penyalahgunaan wewenang; (4) Guru menciptakan suasana kehidupan sekolah dan memelihara hubungan dengan orang tua siswa dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan anak didik.

(5) guru memelihara hubungan baik dengan masyarakat di sekitar sekolahnya maupun masyarakat yang lebih luas untuk kepentingan pribadi; (6) Guru secara sendiri-sendiri dan atau bersama-sama berusaha mengembangkan dan meningkatkan mutu profesinya, (7) Guru menciptakan dan memelihara hubungan antara sesama guru baik berdasarkan lingkungan kerja maupun di dalam hubungan keseluruhan, guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian nya, guru melaksanakan segala ketentuan yang merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan.

Kode etik tersebut merupakan syarat utama guru dalam melaksanakan tugas mulianya. Namun, kode etik tersebut belum terlaksana dengan sebaik-baiknya. Hal itu dapat dibuktikan dalam banyak kasus yang terjadi mengenai penyalahgunaan wewenang. Dilansir dari halaman tirto.id, terjadi peningkatan kekerasan dalam mendidik amak di sekolah, pada tahun 2017 sebanyak 328 kasus, kemudian di tahun 2018 sebanyak 445 kasus (Abdi, 2018).

Seorang guru dapat menghukum peserta didik karena peserta didik tersebut telah menyimpang dari tata tertib dan peraturan-peraturan yang diciptakan guru itu sendiri. Hukuman memanglah penting untuk memberi peringatan dan pelajaran atas perilaku menyimpang yang dilakukan peserta didik. Namun, akan sangat fatal jika hukuman tersebut mempermalukan peserta didik.

Guru-guru melakukan hukuman menampar, menjemur, menjilat WC, push up, sit up, menghukum dengan merokok dan direkam video. Hukuman-hukuman tersebut akan berakibat pada perkembangan peserta didik. Apalagi, hukuman yang divideokan kemudian disebarluaskan ke sosial media akan dilihat orang-orang lain tanpa terkecuali. Artinya, peserta didik akan terlihat dipermalukan di seluruh dunia.

Pada kasus ini, seorang guru telah menyinggung UU ITE Pasal 45 Ayat 1, yang berbunyi "Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."   

Seorang guru yang sepantasnya menjadi panutan agar berperilaku baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara namun kenyataannya telah melanggar hukum serta melanggar kesusilaan yang tidak lain dan tidak bukan adalah peserta didiknya.

Pelanggaran yang dilakukan tersebut akan mempengaruhi psikologis anak. Sudah sepatutnya membuat peserta didik menyesali perbuatannya, namun tidak pula menyebarkannya ke seluruh dunia untuk dipandang buruk. Ketika peserta didik tersebut telah menyesali perbuatannya namun aib tersebut juga tidak dapat ditarik dari ruang sosial media, bagaimana kita akan mempertanggungjawabkannya??

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun