Mohon tunggu...
Kartika Wulansari
Kartika Wulansari Mohon Tunggu... Desainer - Disainer

Suka pada cita rasa berkelas

Selanjutnya

Tutup

Gadget

Demokrasi yang Tidak Semaunya

19 Juni 2021   05:17 Diperbarui: 19 Juni 2021   05:18 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media sosial amat akrab dengan kita kini. Malah dalam catatan fb, nyaris satu penduduk Indonesia punya satu akun FB, malah ada yang dua dan punya juga akun twitter dan instagram. Seseorang malah membuatkan akun medsos untuk anaknya yang masih berusia satu tahun atau membuatkan ibu ayahnya yang sudah renta. Sehingga bisa dimaklumi jika jumlah akun FB orang Indonesia sama dengan jumlah penduduk kita.

Hanya saja penggunaan media sosial itu tidak dibarengi dengan pengetahuan soal literasi digital. Padahal sifat media sosial amat berbeda dengan media konvensional yang selama ini kita kenal. Media konvensional punya rentetan mekanisme yang memagari sebuah narasi (baca : berita) sehingga sebuah berita tidak melanggar etika, tidak menyalahi hak asasi orang lain, tidak mengusik privasi orang lain. Berita juga dituntut akurat dan selalu cek dan balancing agar menjadi berita yang netral, tidak memprovokasi dan masyarakat mendapatkan pencerahan setelah membaca berita itu.

Namun berbeda dengan media sosial yang tidak menuntut rentetan mekanisme sebelum memproduksi sebuah narasi. Seseorang, misalnya saya atau anda dengan mudah dapat memposting sebuah berita segera setelah melihat sebuah kecelakaan di jalan. Orang tidak perlu lagi mempertimbangkan perasaan keluarga korban jika korban itu terluka parah dan secara etika tidak layak untuk dipublikasikan.

Begitu juga dengan narasi-narasi yang lain; yang sering kali mengganggu perasaan orang lain atau pihak lain alias provokasi bahkan melanggar privasi dan etika /norma kemasyarakatan. Anehnya yang melanggar-melanggar itu justru seringkali viral karena disebar luaskan dnegan bebas melalui media massa.

Jika isi narasi itu dikulik alias dipersoalkan, seringkali orang berkilah bahwa bersuara melalui media sosial adalah hak semua orang sebagai perwujudan dari demokrasi. Seolah-olah demokrasi itu adalah bebas sebebas-bebasnya tanpa batas. Dengan berkilah kebebasan seolah-olah apasaja bisa dilontarkan menjelek-jelekkan orang lain, menyerang pribadi, menyebarkan ujaran kebencian sampai menyebar hoax dan mencaci maki.

Ketika sang pembuat narasi atau penyebar ditegur atau bahkan ditangkap karena dianggap membuat resah, maka banyak pengikutnya yang protes dan menganggap bahwa bersuara adalah hak semua orang. Mereka juga berkilah atas nama demokrasi.

Memang betul demokrasi dijamin oleh konstitusi, namun yang harus diperhatikan juga adalah kebebasan itu harus mengikuti koridor-koridor yang sudah ditentukan dan bukan kebebasan yang kebablasan bahkan melanggar hak / privasi orang lain.

Tentunya ini bukan demokrasi yang kita harapkan bersama. Bukan terlalu mengagungkan media konvensional untuk menyampaikan narasi, namun apapun dengan media sosial pun kita harus juga melihat konteks dan etika. Bukan mengkritik apa saja yang dilontarkan  oleh pihak yang berlawanan konsep dengan kita.

Demokrasi yang diharapkan dunia, bukan demokrasi tanpa kendali, tak semau-maunya ; namun demokrasi yang bertanggungjawab dan beretika.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun