Mohon tunggu...
Kartika Wulansari
Kartika Wulansari Mohon Tunggu... Desainer - Disainer

Suka pada cita rasa berkelas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Toleransi yang Implementatif

1 Juni 2019   09:20 Diperbarui: 1 Juni 2019   09:27 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada yang menarik pada Ramadan kali ini, tepatnya beberapa tahun ini. Yaitu massifnya narasi soal toleransi  bagi kalangan yang tidak berpuasa. Narasinya kurang lebih begini ; bulan ini adalah puasa dan kami puasa. Jika anda tidak berpuasa (karena haid, hamil atau beragama lain) silakan saja untuk makan dan minum tanpa khawatir menganggu kami.

Karena itulah , kini banyak warung atau restoran yang buka seperti biasa. Padahal sebelumnya jika puasa tiba, nyaris semua warung di Jakarta dan beberapa kota lain akan tutup. 

Seminggu kemudia mereka berjualan tapi dalam keadaan kaca dan pintu tertutup. Umumnya pembeli yang tahu dan tidak sedang berpuasa akan menuju pintu belakang untuk membeli makanan.

Hal itu juga terjadi di mal-mal di beberapa kota besar di Indonesia. Mereka tetap buka tetapi bagian dalam umumnya ditutup dengan gorden atau kain untuk menghalangi pengunjung untuk melihat bagaian dalam resto.  Kita mungkin bisa melihat KFC atau Mc Donald atau Pizza Hut yang menutup tirainya jika siang hari.

Narasi soal toleransi  bagi tidak berpuasa kini sangat populer tidak saja pada kaum dewasa tapi juga pada remaja, bahkan anak-anak. Narasi ini memberi pengertian bahwa memang  tidak semua orang berpuasa alias sebagian lainnya diperbolehkan untuk tidak puasa. Dalam agama Islam wanita yang sedang haid tidak bisa melakukan puasa. 

Disamping itu atas nama kesehatan, wanita hamil dan anak-anak memang dianjurkan puasa tapi jika mengganggu kesehatan diperbolehkan untuk tidak puasa. Karena hakekat puasa adalah mengekang hawa nafsu kita dan bukan untuk membahayakan kesehatan seseorang.

Jadi tidak berpuasa itu tidak melulu soal orang yang beragama lain, tetapi  juga umat Islam yang memang berhalangan atau diizinkan tidak berpuasa. Karena itu, terhadap mereka kita tak boleh bersikap  arogan dan main hakim sendiri, atau mengaturnya dalam Perda. 

Seperti yang terjadi di beberapa kota di mana larangan membuka warung pada siang hari ketika bulan puasa diatur dengan Perda. Sehingga tak jarang terjadi razia dan penghancuran masakan-masakan di warung-warung itu.

Karena sebetulnya puasa adalah bagaimana kemampuan kita mengekang hawa nafsu itu mampu kita lakukan. Maka jika ada warung dan kedai makanan buka pada saat bulan puasa, di situlah kekuatan iman kita akan diuji. 

Jika tidak kuat maka bisa ditakar kadar keimanan kita soal bagaimana melawan nafsu itu diukur. Iman untuk terus berpuasa atau semangkuk soto enak ? Mana yang menang ? Semangkuk soto atau iman kita ? Hal itu semua tergantung pada kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun