"Kamu kenapa pilih tempat yang jauh!? Di sini malah tidak ada orang. Pindah saja ikut kita." Komentar dokter Roby setelah mendengar ceritaku, masih tergiang di telinga hingga kini.Â
9 tahun yang lalu.
Akhirnya aku membuat keputusan keluar dari perkumpulan kaum muda setelah lima tahun bergabung.
Tujuan awal bergabung di perkumpulan itu untuk dampingi teman masa remaja yang sedang bingung mencari identitas rohani dan diri. Rasa khawatir kesehatan mental dia menjadi semakin parah membuatku mengambil keputusan ikut dia bergabung supaya dapat memantau langsung aktifitas perkumpulan itu. Apakah dapat membantu menemukan damai atau sebaliknya.
Setelah menilai dia bisa ditinggal dan demi memberi dia ruang untuk membuka diri dan berekspresi kepada sesama, maka kuputuskan keluar.Â
Sebagai ganti waktu yang kosong, aku mengarahkan kaki ke gereja tempatku dibaptis untuk mencari lowongan pekerjaan.Â
Padahal, jarak tempat tinggal dan lokasi gereja itu cukup jauh. Aku pun tidak terdaftar sebagai anggota.
Dokter Roby adalah dokter keluargaku. Kami sudah puluhan tahun hidup bertetangga. Semua riwayat penyakit, alergi, hingga masalah keluarga pun dia tahu betul. Aku dan dia sama-sama terdaftar di gereja yang sama, tapi karena sejak remaja aku sekolah di lain kota dan semasa kuliah sibuk kegiatan kuliah maka tidak pernah aku pergi beribadah di gereja tempatku terdaftar.
Hingga aku mendapat kerja dan memilih tinggal di rumah daripada kos.Â
Dorongan untuk aktif terlibat di gereja sangat kuat karena aku sadar sudah diberi banyak oleh Tuhan. Dan ini sudah waktu untukku membalas semua itu.
Tapi entah kenapa dorongan itu mengarahkan kakiku untuk pergi menemui bapak baptis yang sejak muda aktif di gereja tempatku dibaptis.