Mohon tunggu...
Kartika Cahya Pertiwi
Kartika Cahya Pertiwi Mohon Tunggu... Guru - belajar sepanjang hayat

belajar sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Komunitas Tionghoa di Gudo Jombang dan Eksistensinya

25 November 2020   21:37 Diperbarui: 25 November 2020   22:03 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Identitas merupakan sumber sense of belonging dan rasa aman bagi mereka yang memiliki. Kebutuhan individu atau kelompok untuk memiliki identitas itu didorong oleh motif-motif  utama yang meliputi: 1) kebutuhan memiliki konsep diri yang positif, 2) kebutuhan untuk berafiliasi dengan kelompok sosial yang lebih besar, dan 3) kebutuhan untuk mempertahankan identitas sosial positif melalui kegiatan membandingkan kelompoknya dengan kelompok lain. Bagi kelompok dengan status lebih rendah biasanya mereka memilih strategi yang lebih aman melalui mobilitas sosial dan kreativitas sosial (Afif, 2012:53).

Menurut Afif (2012), dalam konteks kehidupan kelompok minoritas Tionghoa, sepanjang keberadaan mereka di Indonesia mereka lebih cenderung lebih memilih tidak melakukan konfrontasi langsung dengan pihak-pihak yang lebih dominan, baik itu penguasa maupun kelompok mayoritas pribumi. Posisi mereka yang rentan terhadap perlakuan-perlakuan diskriminatif dari kedua pihak tersebut mendorong mereka untuk memilih strategi yang lebih bersifat adaptasi ketimbang konfrontasi.

Kondisi masyarakat seperti tersebut, serupa dengan kondisi masyarakat yang digambarkan Talcot Parsons dalam Teori Sistemnya. Situasi jaman yang berbeda pada saat Belanda masih berada di Indonesia, ketika posisi mereka berada pada strata sosial yang lebih lebih tinggi dibanding pribumi menyebabkan etnis Tionghoa harus dapat mempertahankan diri di tengah lingkungan pribumi agar tetap diakui keberadaannya.Teori Sistem yang memandang suatu masyarakat terdiri dari sifat adaptasi, mempertahankan diri, integrasi dan orientasi tujuan yang semua komponen.

Kebijakan pemerintah terhadap Komunitas Tionghoa dari tahun 1967-2003 semakin mengalami perbaikan yang banyak menguntungkan keberadaan mereka. Terbentuknya PTITD pada tahun 1979 menjadi respon terhadap kebijakan pemerintah pada masa Orde Baru, dan menjadi salah satu upaya untuk mempertahankan keberlangsungan seluruh klenteng di Indonesia. 

Pada tahun 1967-2004 upaya etnis Tionghoa mempertahankan keberlangsungan Klenteng Hong San Kiong dalam bidang keagamaan, kesenian dan hubungan sosial masyarakat lebih diarahkan pada proses pembauran dengan masyarakat sekitar. Sikap adaptif lebih diterapkan untuk mempertahankan identitas mereka di tengah lingkungan masyarakat.

Sebagai salah satu program asimilasi, Pemerintahan Soeharto berusaha mengubah klenteng menjadi vihara, walaupun secara makna dan fungsi antara keduanya sangat berbeda. Klenteng merupakan tempat ibadah yang digunakan oleh  umat Konghucu, Tao dan Budha, sedangkan vihara hanya diperuntukkan bagi umat Budha. 

Penganut Konghucu sendiri mempunyai upaya tersendiri dalam menghadapi tuntutan pemerintah. Diarahkannya klenteng menjadi vihara, bagi umat Konghucu sangat menyalahi aturan. Bunsu Endang Titis Bodro Triwarsi  memberikan keterangan bahwa sebagai tanggapan atas peraturan pemerintah tersebut, Komunitas Klenteng akhirnya memasukkan Budha sebagai salah satu ajaran di klenteng. Namun, ajaran Budha yang dianut oleh komunitas klenteng bukanlah Budha Teravada seperti yang dianjurkan pemerintah, melainkan aliran Budha Mahayana yaitu aliran Budha yang juga mempelajari agama Tao dan Konghucu.

Pentingnya pendidikan mengenai agama Konghucu bagi generasi selanjutnya, membuat pengurus Klenteng Hong San Kiong memutuskan pada tahun 1980 dibentuk acara Pendidikan Agama Konghucu bagi anak-anak keturunan etnis Tionghoa beragama Konghucu. Mereka dibutuhkan sebagai generasi yang nantinya mengembangkan agama Konghucu dan Klenteng Hong San Kiong.

Proses akulturasi yang dilakukan oleh etnis Tionghoa dalam acara Shin Jiet dengan menampilkan pagelaran wayang kulit dan Reog Ponorogo menunjukkan kepada masyarakat sekitar bahwa Klenteng Hong San Kiong sebagai fokus keagamaan dan kebudayaan etnis Tionghoa mampu mengusung kebudayaan Jawa dalam acara besar yang dilaksanakan. Asumsi tersebut secara langsung dapat memperkuat posisi Klenteng Hong San Kiong di tengah lingkungan masyarakat.

Pada bidang kesenian, Semakin sedikitnya etnis Tionghoa yang menaruh minat untuk memainkan Wayang Po Te Hi, disebabkan karena mereka lebih tertarik pada usaha perekonomian yang dianggap lebih menguntungkan. Sebaliknya bagi pribumi, hal ini merupakan peluang yang bagus untuk melanjutkan kelangsungan hidup mereka. 

Terdapat misi yang saling menguntungkan di antara etnis Tionghoa dan pribumi jika dilihat dari dua perspektif yang berbeda. Bagi pribumi,  Wayang Po Te Hi dapat menjadi sebuah matapencaharian yang menguntungkan mereka. Sedangkan bagi etnis Tionghoa, keterlibatan pribumi dalam kesenian Po Te Hi secara tidak langsung  dapat mempertahankan keberadaan kesenian Wayang Po Te Hi di Klenteng Hong San Kiong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun