Beberapa tahun terakhir, istilah self-love begitu menjamur di media sosial. Dari kutipan inspirasional hingga reels penuh motivasi, kita diajak untuk mencintai diri sendiri, menerima kekurangan, dan "menyembuhkan luka batin" dengan penuh kelembutan.
Namun, di balik ajakan manis itu, ada satu fenomena menarik: banyak orang yang begitu semangat meneriakkan self-love, tapi malah terjebak dalam jebakan self-delusion.Â
Alih-alih menjadi individu yang lebih baik, mereka justru menggunakan konsep ini sebagai alasan untuk bermalas-malasan, menunda tanggung jawab, dan membiarkan hidupnya terombang-ambing tanpa arah.Â
Apakah ini benar-benar self-love, atau sekadar pembenaran untuk tidak produktif?
Kapan Self-Love Berubah Jadi Self-Delusion?
Pada dasarnya, mencintai diri sendiri adalah hal baik. Kita tidak bisa terus-menerus memforsir diri tanpa batas hingga kelelahan fisik dan mental.Â
Sayangnya, sebagian orang salah kaprah dalam memahami makna sesungguhnya. Self-love yang seharusnya berisi perawatan diri dan pengembangan diri, malah berubah menjadi lisensi untuk berleha-leha tanpa rasa bersalah.
Mungkin Anda pernah melihat seseorang berkata, "Aku butuh healing dulu," hanya untuk berujung maraton drama Korea selama seminggu penuh sambil mengabaikan pekerjaan dan kewajiban. Atau mereka yang membanggakan me time tanpa batas, tapi kenyataannya hanya menghindari tantangan yang seharusnya dihadapi.Â
Lebih jauh lagi, ada juga yang dengan bangga mengatakan, "Aku menerima diriku apa adanya," padahal yang sebenarnya terjadi adalah menolak perubahan dan membiarkan diri terjebak dalam kebiasaan buruk.
Fenomena ini semakin diperparah dengan maraknya narasi di media sosial yang mendukung sikap ini. Kata-kata seperti "Tidak apa-apa kalau kamu belum siap," atau "Ambil waktu sebanyak yang kamu butuhkan" memang terdengar lembut dan menenangkan.