Mohon tunggu...
Kartika Tjandradipura
Kartika Tjandradipura Mohon Tunggu... Co-Founder Writing for Healing Community

Penulis dengan tujuan utama yaitu untuk meningkatkan mental health awareness dan self compassion. Untuk mengenal tulisannya lebih jauh, bisa dilihat di akun Instagram : @kartika_olive

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Self-Love atau Self-Delusion, Healing Berujung Mager Berkepanjangan

11 Maret 2025   15:46 Diperbarui: 17 Maret 2025   13:26 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (sumber: pixabay/ phynartstudio)

Beberapa tahun terakhir, istilah self-love begitu menjamur di media sosial. Dari kutipan inspirasional hingga reels penuh motivasi, kita diajak untuk mencintai diri sendiri, menerima kekurangan, dan "menyembuhkan luka batin" dengan penuh kelembutan.

Namun, di balik ajakan manis itu, ada satu fenomena menarik: banyak orang yang begitu semangat meneriakkan self-love, tapi malah terjebak dalam jebakan self-delusion. 

Alih-alih menjadi individu yang lebih baik, mereka justru menggunakan konsep ini sebagai alasan untuk bermalas-malasan, menunda tanggung jawab, dan membiarkan hidupnya terombang-ambing tanpa arah. 

Apakah ini benar-benar self-love, atau sekadar pembenaran untuk tidak produktif?

Kapan Self-Love Berubah Jadi Self-Delusion?

Pada dasarnya, mencintai diri sendiri adalah hal baik. Kita tidak bisa terus-menerus memforsir diri tanpa batas hingga kelelahan fisik dan mental. 

Sayangnya, sebagian orang salah kaprah dalam memahami makna sesungguhnya. Self-love yang seharusnya berisi perawatan diri dan pengembangan diri, malah berubah menjadi lisensi untuk berleha-leha tanpa rasa bersalah.

Mungkin Anda pernah melihat seseorang berkata, "Aku butuh healing dulu," hanya untuk berujung maraton drama Korea selama seminggu penuh sambil mengabaikan pekerjaan dan kewajiban. Atau mereka yang membanggakan me time tanpa batas, tapi kenyataannya hanya menghindari tantangan yang seharusnya dihadapi. 

Lebih jauh lagi, ada juga yang dengan bangga mengatakan, "Aku menerima diriku apa adanya," padahal yang sebenarnya terjadi adalah menolak perubahan dan membiarkan diri terjebak dalam kebiasaan buruk.

Fenomena ini semakin diperparah dengan maraknya narasi di media sosial yang mendukung sikap ini. Kata-kata seperti "Tidak apa-apa kalau kamu belum siap," atau "Ambil waktu sebanyak yang kamu butuhkan" memang terdengar lembut dan menenangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun