Di sebuah meja makan, seorang istri menghela napas sambil melihat tagihan yang menumpuk. Suaminya, dengan nada ringan, berkata, "Tenang, aku masih bisa handle semuanya."
Kalimat itu terdengar seperti janji manis, tapi bagi sebagian ibu rumah tangga yang sudah lama hiatus bekerja, itu bisa terdengar seperti borgol emas.
Banyak perempuan memilih berhenti bekerja setelah menikah atau memiliki anak. Keputusan itu sering diambil dengan keyakinan bahwa keluarga adalah prioritas utama.Â
Namun, waktu berjalan, anak-anak mulai tumbuh, dan sesuatu yang tadinya terasa sebagai pilihan mulai berubah menjadi keterbatasan. Rasa ingin kembali produktif muncul, bukan sekadar karena uang, tetapi karena harga diri yang mulai terasa luntur di mata pasangan dan lingkungan.
Pernahkah kita bertanya, mengapa banyak ibu rumah tangga yang ingin bekerja lagi meskipun finansial keluarga baik-baik saja? Jawabannya sederhana: eksistensi diri.
Perempuan yang dulu mandiri kini merasa terjebak dalam narasi "pengasuh rumah tangga", kehilangan daya tawar dalam percakapan finansial, dan perlahan menjadi pihak yang hanya "ditanggung" dalam ekonomi rumah tangga.
Ketergantungan Finansial: Berkah atau Jerat?
Ketika seorang perempuan menikah dan berhenti bekerja, ketergantungan finansial pada suami bisa terasa wajar. Toh, rumah tangga dibangun bersama. Suami bekerja di luar, istri mengurus rumah. Sebuah simbiosis sempurna, bukan?
Namun, ada garis tipis antara berbagi peran dan kehilangan kendali atas diri sendiri. Saat perempuan tidak memiliki penghasilan sendiri, sering kali ada rasa sungkan untuk meminta lebih.Â
Ada ketakutan dinilai boros, ada perasaan bersalah jika ingin membeli sesuatu untuk diri sendiri. Bahkan dalam rumah tangga yang sehat sekalipun, ketergantungan finansial bisa melahirkan ketimpangan kuasa yang tidak disadari.