Ada banyak cara untuk diet kantong plastik dan sedotan sekali pakai.  Upayanya dapat berupa reduce (mengurangi penggunaan), reuse (menggunakan kembali), recycle (daur ulang), replace (mengganti dengan menggunakan bahan lain yang lebih eco friendly), repair (memperbaiki jika masih dapat dipergunakan), atau bahkan refuse (menolak sama sekali penggunaanya). Â
Dari segi kepraktisan memang tidak sepraktis kantong plastik sekali pakai. Tidak perlu kita bawa dari rumah, cukup dari pedagang , bahkan disediakan gratis sebagai bentuk service. Kalaupun berbayar per lembar hanya 200 rupiah.Â
Setelah dipergunakan dapat langsung dibuang, mengenai berakhir dimana itu bukan urusan kita lagi. Sebagai sampah kita sudah terlalu ikhlas melepaskan kepergiannya hingga lupa bahwa ada moral tanggung jawab terhadap sampah yang kita buat.
Ah, mana ada sanksi moral dari masayarakat toh, membuang sampah itu kan tidak sama dengan berbuat zina juga tak seberdosa mencuri, toh. Soal sampah menjadi beban hingga anak cucu tak tercatat pula sebagai dosa besar di kitab suci manapun.Â
Nah, disinilah sebagai manusia, yang katanya bertugas sebagai khalifah di muka bumi tetapi sekaligus dipastikan pembawa kiamat ini untuk rethink, memikirkan kembali seberapa besar manfaat dan mudhoratnya untuk lebih bijak menggunakan plastik sekali pakai atas dasar kesadaran dari diri sendiri. Bukan karena adanya hukum yang mengatur pelarangan kantong plastik, terlebih karena takut dengan sanksi pidananya.
Membiasakan diri untuk diet plastik memang tidak mudah, bahkan meski untuk keperluan diri sendiri akan dapat dipastikan adanya cibiran sok greeny-nya kita.
Eh, sejak kapan cibiran jadi masalah kalo niat kita kuat toh? Menyelamatkan dunia toh gak perlu sampe jadi wonder woman yang mengorbankan kampungnya demi menyelamatkan dunia toh?.
Salah satu tanaman liar yang dapat dimanfaatkan sebagai pengganti kantong plastik adalah purun. Memang tidak dapat dipakai langsung, tetapi dijadikan produk anyaman. Â Â Purun (Elocharis dulcus) Â adalah tanaman liar yang tumbuh di Rawa Lebak (masyarakat Sumsel menyebutnya Rawang). Purun pada zaman dulu dianyam dan dijadikan tikar. Meski saat ini prospeknya makin rendah, harga pasaran tikar tak sebanding dengan usaha untuk pembuatan selembar tikar.
Anyaman purun pun tidak hanya sebatas tikar. Tangan-tangan trampil bisa membuatnay menjadi keranjang, dan kerajinan laiinya termasuk tas belanja.
Tas purun ini bisa dicuci setelah dipergunakan dan dikeringkan untuk dipergunakan kembali. Tidak perlu kuatir dengan bau amis ikan, udang ataupun daging akan tertinggal di tas purun. Pencuciannya sangat mudah.Â