Mohon tunggu...
Kartika Kariono
Kartika Kariono Mohon Tunggu... Pengacara - Ibu Rumah Tangga

Mengalir mengikuti kata hati dan buah pikiran

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[BanCiPilPres] Obrolan Pilpres di Warung Pempek

12 Maret 2019   10:52 Diperbarui: 12 Maret 2019   11:13 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti biasa warung pempek terapung Bikcik Ijah selalu ramai dikunjungi oleh barbagai kalangan meski waktu menunjukkan pukul 10.00 pagi.  Maklumnya  lokasinya yang tepat berada di jantung kota Palembang,  di Sungai Musi sangat dekat dengan pasar 16 ilir, pusat perdagangan di kota BARI sejak zaman kesultanan Palembang Darussalam,  ah mungkin lebay.  Maksudnya, sejak zaman kolonial.

Merdeka , sales makanan kalengan yang selalu mampir ke warung Bikcik setelah ia menerima order dari toko-toko kelontong di situ, ia merekapitulasi penjualannya di warung itu. Jika sebagian orang akan pusing dengan goyang-goyangnya warung terapung yang dibuat di atas kapal kecil itu, justru sensasi itu membuat Merdeka merasakan konsentrasi yang luar biasa. Ia malah sering salah menghitung order saat di tempat tenang.

Pelanggan lain Lek Totok, meski tampangnya lusuh dengan celana pendek ia adalah  toke sarang burung walet yang peredaran uang di bisnisnya mencapai 2  milyar per hari, meski tidak setiap hari ia ke Palembang, beberapa transaksi dagang memang mengharuskan ia ke ibu kota. Ia berasal dari daerah perairan dimana dermaga kapal dari penjuru perairan Sumsel berlalu di Dermaga Ampera.

Gaya Deka yang sengat necis, kemeja katun yang selelu tersetrika rapi dimasukkan di celana panjangnya yang juga tersetrika rapi. Tali pinggang merk ternama yang ia beli di kaki lima pasar 16. Kunci mobil dengan gantungan alarm mobil pun selalu tergantung di pinggangnya. Tangannya selalu memegang smartphone berukuran 5,5 inch dengan  teknologi ter-update selayaknya gaya anak milenial, berbanding terbalik dengan Lek Totok yang bercelana pendek dan berkaos lusuh dan tekenan awut-awutan ditambah kulitnya yang sangat gelap terbakar matahari, sedangkan Deka berkulit putih kuning langsat, karena memang ia peranakan Kayu Agung dan Lahat yang terkenal dengan kulitnya yang putih.

Entah ini pertemuan yang keberapa, seringkali mereka bertegur sapa basa-basi tetapi mereka sudah tahu kebiasaan masing-masing, Wak Totok senang dengan pempek kulit dan kapal selam yang dinikmati bersama kopi hitam, sedangkan Deka sangat suka lenggang panggang yang dinikmati dengan secangkir cappucino sachetan.

Hari itu tidak seperti biasanya, pelanngan hanya Deka dan Lek Totok, sehingga Mang Dollah, suami Bikcik Ijah malah ikutan nongkrong di sana.

"Lah dekat sekali pilpres, pilih siapa ?"tanya Wak Dollah kepada kedua pelanggan setianya. "Suaraku untuk di bilik suara tanggal 17 april nanti" jawab Wak Totok cepat."Saya belum menentukan pilihan,Mang.Mungkin saya akan golput, siapapun pemenangnya sama saja, saya masih harus mengais rezeki dimana-mana"sahut Deka tetap dengan sibuk dengan gadget-nya untuk  mengirimkan Purchase Order agar perusahaan tempat ia bekerja segera melakukan Delivery Order. Koh Asan udah ngamuk-ngamuk karena pengiriman beberapa kali tertunda.

"Oh, tidak bisa seperti itu. Sama saja kamu membiarkan yang jahat menang. Pilihlah yang pasti, yang bakal meneruskan pembangunan di Indonesia yang belum merata ini. Banyak sudah buktinya, lihat tuh. Itu bukti pembangunan yang sangat pesat" Mang Dullah menunjuk Rel LRT, Jembatan Musi IV dan MUSi VI yang membentang di hadapan mereka. "Sudah berapa tahun ini nafas kita lega dari kabut asap di musim kemarau, itu kerja keras di bawah pimpinan presiden sekarang" sambungnya lagi.

"Woyy... tidak bisa seperti itu, kita butuh pemimpin yang gagah, ganteng, dan segar. Bukan yang plonga-plongo dan buyutan"teriak Bik Ijah kencang dari dapur dan dalam sekejap berada di antara mereka. "Harga barang semua naik, tidak terbeli, semua salah kebijakan. Lihat saja itu banyak Cina datang ke negeri kita, mau masak Malbi,daging sapi mahal gak pernah dibawah 150.000, Emak-emak butuh pemimpin yang dapat menjadikan harga daging kembali 40.000"sahut Mak Ijah semangat.

"Memangnya bisa secepat itu kalo dipimpin oleh pilihanmu"sahut Mang Dollah keki. "Bisa, pasti bisa, memimpin ribuan pekerja yang tadinya perusahaannya cuma terdiri dari 3 orang. Paling penting mereka peduli emak-emak, dan ijtihat ulama, itu kata Ustad di pengajianku"sahut Bikcik Ijah dengan berapi-api.

"Apa buktinya?" tanya Mang Dolla tak mau kalah " Bukti itu buat Petahana, Darling, lihat saja tuh Polling dari Polmark, masih dibawah 50 %. Pastilah menang" sahut Bik Ija dengan mengacungkan dua jari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun