"Pernah lihat gak postingan di medsos  sebuah media besar di sini soal kasus bunuh diri yang lalu?"tanya seorang rekan kepada saya.
"Link berita media itu maksudnya?"aku malah balik tanya.
"Medsos yang dikelola oleh media mainstream, Yuk. Sudah dihapus sih, karena memang aku protes. Alasannya ini dapat info dari polisinya"sahutnya sambil menyeruput kopinya.
Aku menoleh ke Baim yang kupandang dia paham soal kode etik jurnalistik, karena profesi dan posisinya di sebuah lembaga. "Soal bunuh diri belum ada pemgaturannya di Dewan Pers?"tanyaku yang jadi penasaran.
"Belum ada pengaturannya di KEJ, tetapi dewan pers tengah menggodok tata cara pemberitaan bunuh diri"katanya menjelaskan.
"Iya, padahal bunuh diri itu kan aib. Gak ada juga pelaku kriminal yang perlu di beri sanksi sosial. Justru keluarga menanggung malu berkali-kali dengan pemberitaan ini. Bahkan tanpa sensor identitas"sahut sang rekan bersungut-sungut.
Aku langsung teringat dengan kasus pembunuhan keluarga yang diakhiri dengan bunuh diri oleh keluarga. Fotonya yang bersimbah darah sempat beredar via broadcast, pemberitaan di media terus update, di pertengahan januari lalu bunuh diri remaja di lokasi ikonik Palembang sampai bunuh diri napi di sebuah LP Palembang.
"Ya bukan itu saja, pemberitaan bunuh diri juga bisa memicu orang lain untuk melakukan. Terprovokasi"sahutku lirih.
"Eh...itu beneran ada?"dia tanya balik.
"Ada, ini diakui beberapa penyintas yang tiba-tiba merasa panik saat pemberitaan bunuh diri public figure karena beberapa teman penyintas mulai ke arah sana obrolannya"sahutku.
"Karena edukasi soal bunuh diri juga belum optimal"sahutnya lagi.