Mohon tunggu...
Kartika Kariono
Kartika Kariono Mohon Tunggu... Pengacara - Ibu Rumah Tangga

Mengalir mengikuti kata hati dan buah pikiran

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Hei Jurnalis, Selamat HPN!

8 Februari 2019   14:04 Diperbarui: 10 Februari 2019   02:24 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mereka Dibunuh Karena Berita (Sumber:AJI Palembang)

"Indonesia adalah negara hukum" itu jelas dinyatakan dalam kontitusi kita, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Di dalam sistem hukum Eropa Kontinental disebut Rechtsstaat.  Salah satu ahli hukum  Eropa Kontinental Friedrich, Julius Stahl, menyebutkan  ciri-ciri Rechtsstaat sebagai berikut: Hak asasi manusia (HAM), Pemisahan atau pembagian kekuasaan (Trias Politika), Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan, Peradilan administrasi dalam perselisihan.

Negara hukum dalam sistem hukum Anglo Saxon,disebut Rule of Law.  Av Dicey, ahli hukum Anglo Saxon  menyebutkan ciri-cirinya : Supremasi hukum, Kedudukan sama di depan hukum, serta Terjaminnya HAM dalam undang-undang atau keputusan pengadilan.

Di lain sisi, sebuah jargon bahwa "Pers adalah pilar ke-empat demokrasi (The Fourth of Estate) seringkali kita dengar.  Namun, pemahaman mengenai 3 kekuasaan negara dalam teori trias politica (Eksekutif, Yudikatif dan Legistatif) yang juga dianut dalam sistem demokrasi kita menampik hal ini.

Tetapi, bukan berarti pers tidak memiliki peran besar dalam pelaksanaan demokrasi. 

Pers yang berada di luar ketiga kekuasaan tersebut secara ideal menjadi mengontrol bagaimana kewenangan dalam trias politica itu menjalankan negara hukum ini, melalui apa yang disebut dengan  kebebasan pers.

Kebebasan pers ini  dimaknai sebagai kebebasan yang bertanggung jawab, yang dilandasi atas moral, tanggung kawab profesi dalam etik jurnalistik yang diawasi melalui Dewan Pers, serta kepatuhan terhadap hukum dan HAM, yang dilindungi dalam konstitusi dan UU No.40 Tahun 1999 Tentang Pers.

Setiap tanggal 9 Februari diperingati sebagai Hari Pers Nasional (HPN). Penetapan tanggal ini  berdasarkan Keppres No.5 Tahun 1985, berbarengan dengan peringatan berdirinya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), 9 Februari 1946. 

Meski beberapa tahun lalu (2010-2011)  Aliansi Jurnalis Indepanden (AJI ) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) mengusulkan tanggal pengesahan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers tanggal 23 September, sebagai Hari Pers Nasional.

Salah satu dasar pemikirannya, ,meskipun UU Pers dinilai belum sepenuhnya melindungi profesi jurnalis,  setidaknya undang-undang tersebut telah melindungi pers dari campur tangan negara.

Terlepas dari itu semua, hal yang mengoyak perasaan menjelang HPN adalah pemberitaan mengenai pemberian Remisi terhadap Susrama, otak pembunuhan terhadapWartawan Radar Bali, AA Narendra Prabangsa 2009 lalu. 

Baca juga : 105 Napi itu mendapat Remisi, Bukan Grasi

Kasus ini adalah kasus pembunuhan terhadap jurnalis satu-satunya yang terungkap dengan pelaku hingga otak pelakunya dipidana.

Untuk mengingatnya dapat dibaca pada : Mengingat Lagi Kasusu Pembunuhan Wartwan Radar BAli AA Narendra Pra bangsa

Sebuah harapan besar bahwa penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan terhadap mereka yang dibunuh karena berita,. dan menjadikan penjatuhan pidana ini sebagai tonggak penegakan kebebasan pers.

Namun akhir tahun ini, dan baru diketahui beberapa minggu lalu, tonggak penegakan kebebasan pers ini seolah telah dirobohkan dengan remisi terhadap otak pembunuhan berencana ini.

Tentu hal ini mendapat protes keras dari jurnalis di berbagai daerah seperti Bali, Surabaya, Malang, Jogjakarta, termasuk Palembang, dll.

Protes keras ini membuat "gaduh" tersendiri di negeri ini karena beberapa pihak yang melencengkannya ke arah pilihan politik. Padahal ini jauh dari itu, ini mengenai menyuarakan keadilan demi supremasi hukum.

Hal ini terjadi,  karena pengubahan hukuman seumur hidup menjadi hukuman penjara sementara dituangkan dalam sebuah Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2018, tetapi pemberitaan mengenai presiden yang tidak mengetahui detail  saat  meneken keppres ini pun mengemuka, serta pengakuan bahwa pemberian remisi ini  sebuah kelalaian.

Tekanan untuk pembatalan remisi, yang selama ini tidak pernah dilakukan di negeri ini pun dijawab bahwa presiden akan ada peninjauan terhadap keputusan  remisi ini, namun dibantah sendiri oleh menkumham  dengan mengemukakan alasan bahwa pemberian remisi ini telah sesuai prosedur, meski selanjutnya diklarifikasi kemenkumham akan kaji ulang keppres ini.

Jika jurnalis, yang memegang sertifikasi profesi dari negeri ini, yang diawasi ketat oleh dewan pers untuk tetap patuh pada kode etik, pun tidak memiliki perlindungan bagaimana dengan kamu, hai kompasianer?.

Selamat Hari Pers Nasional, hei Jurnalis.

Salam hangat dari kami, yang entah siapa di mata kalian para profesional.

Salam Kompal

Dok.Kompal
Dok.Kompal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun