Kalo saya punya langganan sendiri sejak tahun 99 ( waduuh...makin ketauan umur deh). Sebenarnya penjual es puter keliling, satu hal yang saya kagumi adalah konsistensi rasa dan tetap istiqomah jadi penjual es puter bertahun-tahun. Ia berjualan di area Swiss (Seputar Wilayah Sekip dan Sekitarnya) Palembang.
Namanya Es Pragolo, masyarakat Palembang yang menunaikan shalat jumat di Masjid As Sayiddah , Yayasan IBA dipastikan mengenal es puter satu ini. Sebalum sahalat jumat antrian panjang Cuma buat menikmati es ini aja. Kalo selesai shalat kita baru datang keburu kehabisan.
Kalo dulu pilihan topping ada 3, kacang merah, ketan hitam (hanya dibuat bubur bukan dijadikan tapai) dan alpukat. Tetapi sekarang jarang sekali ada topping alpukat. Â Kalo lagi musin duren, aduhai es krim ini nikmat sekali karena ada campuran duren di dalamnya.
Menikmati es puter yang katanya hasil inovasi  asli anak bangsa Indonesia ini sebenarnya menikmati manisnya memori masa kecil. Semakin sedikit penjualnya sekarang tergeser dengan penjual es krim keliling yang lebih memilih menjajakan es krim produk industri skala besar. Apalagi banjirnya merek-merek tertentu  yang menerjunkan varian es krim yang sangat menggoda dengan harga sangat murah.
Terlabih lagi pilihan tempat makan ataupun kuliner bukan lagi pada cita rasa tetapi pada gengsi, tidak keren jika tidak memilih gellato misalnya.
Meninggalkan rasa tanya "apakah menunggi es puter di klaim dan dipatenkan demi menaikkan gengsi barulah es ini berjaya kembali".
 Padahal di masa kecil saya menikmati es krim adalah kemewahan tersendiri, karena untuk  membeli es krim ini pun tidak dengan uang tetapi ditukar dengan botol kecap kosong.
Selamat menyambut week end Indonesia.
Salam Kompal Kompak