Bogor, Tanah Pusaka: Kembalikan Identitas, Hidupkan Peradaban Sunda!
“Pemimpin ditakdirkan berdiri di atas badai. Tidak penting elektabilitas, yang penting meletakkan kerangka besar pembangunan.” — Gubernur Dedi Mulyadi
Oleh Karnita
Pendahuluan
Tatapan mata tertuju ke podium. Saat Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, berdiri menyampaikan sambutan dalam Sidang Paripurna DPRD Kota Bogor, Selasa pagi, 3 Juni 2025, suasana ruang sidang sontak berubah khidmat. Sejenak sunyi, lalu disambut tepuk tangan yang tak segan meletup di antara jeda pidato. Sesekali terlihat anggukan pelan dari anggota dewan dan tamu undangan—tanda bahwa kata demi kata Dedi mengalir bukan sebagai formalitas, melainkan sebagai ungkapan batin yang menggugah kesadaran kolektif.
Dengan suara tenang namun mengikat, Dedi mengajak hadirin menyusuri jejak peradaban Pajajaran. Ia menyebut Bogor bukan semata kota hujan, tetapi tanah pusaka, pusat peradaban Sunda yang diwariskan oleh Sri Baduga Maharaja, Pamanah Rasa, hingga Niskala Wastu Kancana. Pidato itu menjadi lebih dari sekadar sambutan: ia menjelma semacam kidung yang menyulam sejarah, filosofi, dan arah pembangunan—menyentuh, membangunkan, dan menyejukkan sekaligus.
Kini peringatan Hari Jadi Bogor ke-543 memang telah usai. Namun isi pesan dalam sambutan Gubernur Dedi terasa terlalu berharga untuk sekadar berlalu begitu saja. Ia masih begitu aktual, relevan, dan bahkan mendesak untuk direalisasikan—sebagai bagian dari upaya menghidupkan kembali Bogor sebagai Tanah Pusaka yang sejati. Dalam bingkai tema Raksa Jagaditha, pesan tersebut tak hanya menjadi kilas balik, melainkan kompas untuk hari ini dan masa depan.
1. Bogor sebagai Tanah Pusaka dan Titik Balik Kesadaran Budaya
Dedi Mulyadi mengawali pidatonya dengan menyebut Bogor sebagai tanah pusaka yang tak boleh dilupakan. Ia mengaitkan sejarah Kerajaan Pajajaran dengan semangat hari ini, bahwa kota ini seharusnya tak sekadar menjadi titik geografis, melainkan tempat lahirnya kebijakan yang berpijak pada nilai-nilai budaya Sunda.
Kritik elegan dapat disematkan pada narasi ini: tak cukup hanya menyebut "pusaka" jika pembangunan fisiknya justru bertolak belakang. Banyak sudut kota Bogor hari ini yang justru mengabaikan unsur budaya lokal dalam tata ruang dan arsitektur. Ketidaksinambungan ini mengancam jati diri kota.
Solusinya adalah dengan membangun peta budaya kota. Pemerintah Kota Bogor bisa menggandeng budayawan dan akademisi untuk merancang peta zona pusaka yang menjadi acuan perencanaan kota. Hal ini akan menjadi tonggak baru dalam perlindungan dan pengembangan ruang publik berkarakter.