Dari Rem ke Gas: Saatnya Komite Sekolah Jadi Akselerator Kualitas, Bukan Sekadar Legitimator
“Sebuah sistem pendidikan yang baik bukan hanya dilihat dari kurikulumnya, tetapi dari keberdayaan semua aktor di dalamnya.”
Oleh Karnita
Pendahuluan: Menyambut Gagasan Konstruktif Pak Jujun Junaedi
Tulisan Pak Jujun Junaedi berjudul Komite Sekolah Bukan Rem, tetapi Gas Kualitas Pendidikan (Kompasiana, 22 Mei 2025) hadir sebagai oase segar di tengah wacana pendidikan yang kerap terjebak dalam ruang-ruang administratif. Gagasannya bukan hanya terstruktur rapi, tapi juga kuat secara narasi dan relevan dengan realita. Di saat kritik terhadap pendidikan sering berujung keluh kesah, Pak Jujun justru menawarkan pencerahan praksis: bahwa Komite Sekolah adalah “gas”, bukan “rem”, seperti yang selama ini disalahpahami.
Saya sepakat, bahkan sangat mendukung, bahwa Komite Sekolah bukan sekadar penonton pasif dalam gelanggang pendidikan. Mereka adalah jembatan—atau dalam bahasa yang lebih elegan: penguat nadi dialog antara sekolah dan masyarakat. Namun, justru karena sepakat itulah, izinkan saya menyambung napas tulisan ini, dengan beberapa catatan kecil yang semoga bukan cela, melainkan pelengkap.
Komite Sekolah Bukan Penumpang, Tapi Pengemudi Kedua
Empat pilar fungsi Komite Sekolah yang dikutip dari Permendikbud No. 75 Tahun 2016 memang sudah sering jadi bahan sosialisasi. Namun, jarang ada yang mengemasnya secerdas Pak Jujun: humanis, kontekstual, dan tetap legalistik. Ketika Komite Sekolah diposisikan sebagai mitra strategis, bukan hanya stempel legalitas, maka arah kebijakan sekolah akan lebih inklusif dan membumi.
Bayangkan saja jika dalam penentuan sistem evaluasi siswa, suara orang tua yang tergabung dalam Komite benar-benar didengar, bukan sekadar dicatat. Maka, kebijakan sekolah pun akan terasa lebih “memiliki wajah”—ada wajah komunitas, wajah anak, dan wajah lokalitas yang selama ini sering diabaikan.
Komite Sekolah Jangan Terjebak Simbolisme Tanpa Transformasi